x

JADIKAN KPU DAN BAWASLU LEMBAGA ADHOC, TURUNKAN PAJAK 12%!

9 minutes reading
Sunday, 12 Jan 2025 17:03 0 6 detektif_jatim

Oleh: ABD. AZIZ
Advokat, Legal Consultant, Mediator Non Hakim, Lecture, Columnist, Founder dan CEO Firma Hukum PROGRESIF LAW. Kini, Sekjen DPP Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK).

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut bahwa anggaran penyelenggaraan pemilu tahun 2024 sebesar Rp38,3 triliun. Masing-masing untuk KPU Rp 28, triliun, Bawaslu Rp 11,6 triliun. Alokasi anggaran yang begitu fantastis ini digunakan untuk persiapan, penyelenggaraan, dokumentasi, pengawasan, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil, evaluasi, dan kegiatan lainnya. Penulis percaya akan kemampuan seorang Sri Mulyani dalam bidang pengaturan performa APBN. Jumlah di atas, baru biaya operasional pemilu.

Berapa besaran gaji Komisioner KPU dan Bawaslu Kabupaten/Kota dan Provinsi? Sesuai Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2024, yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 12 Februari 2024 adalah, Ketua Bawaslu Provinsi, Rp 18 jutaan, Anggota, Rp jutaan. Sedangkan gaji Ketua Bawaslu Kabupaten/Kota, Rp 11 jutaan, Anggota Rp 10 jutaan. Sedangkan tunjangannya, sesuai kelas jabatan, dan untuk kelas jabatan 17, Rp 29 jutaan. Sedangkan gaji dan tunjangan Ketua KPU Provinsi, Rp 20 jutaan, Anggota, Rp 18 jutaan. Adapun gaji dan tunjangan Ketua KPU Kabupaten/Kota, Rp 12 jutaan, Anggota, Rp 11 jutaan.

Jumlah Provinsi, Kabupaten/Kota di Indonesia adalah 38, 419 dan 98. Jika dikalikan dengan gaji Komisioner KPU dan Bawaslu tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi, ambil rata Rp 18 jutaan perbulan, dikalikan 12 bulan, dikalikan 60 bulan (5 tahun), kemudian dikalikan jumlah Komisioner tiap Kabupaten/Kota dan Provinsi se-Indonesia, angkanya mencapai Rp 50 triliunan. Per bulan, APBN kita tersedot 10 triliun untuk menggaji Komisioner KPU dan Bawaslu se-Indonesia.

Angka yang sangat besar dikeluarkan oleh pemerintah melalui APBN untuk KPU Kabupaten/Kota dan Provinsi secara nasional. Presiden Prabowo harus melihat realitas anggaran ini luar biasa tinggi. Pertanyaannya adalah, apakah pengeluaran APBN yang besar ini memiliki korelasi positif pada kualitas demokrasi di Indonesia? Tentu, harus dikaji dalam ragam perspektif agar kita memahami utuh pada signifikansi pengucuran dana APBN terhadap pembangunan demokrasi yang dini, banyak disoal dalam ruang peradilan Mahkamah Konstitusi (MK).

Ada sekitar 309 perkara Pilkada disidangkan di MK. Kesemuanya, menggugat kerja penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU). Bawaslu bertindak sebagai lembaga pengawasan terhadap penyelenggaraan Pilkada. Menindaklanjuti segala laporan dugaan pelanggaran pemilu. Apakah Bawaslu juga sudah profesional? Sama dengan pertanyaan pada KPU ini. Kita harus duduk bersama. Membahas 2 lembaga penyelenggara pemilu ini. Tetap dipertahankan atau sebaliknya.

Penting untuk dipikirkan agar APBN kita bisa surplus dari tahun ke tahun. Bukan sebaliknya. Caranya, tentu bukan menaikkan PPN persen. Kalau soal menaikkan pajak, semua Presiden bisa. Menjadi sulit, dan patut kita uji, bila cara membuat APBN surplus dengan terobosan yang progresif. Berkemajuan dalam berfikir, bersikap, dan bertindak. Semua dihitung secara matematika. Sebagai warga negara yang tinggal di sebuah dukuh kecil dan kerap ke pasar tradisional, penulis merasakan betul apa yang dirasakan masyarakat kebanyakan.

Turunkan Pajak 12 Persen!

Kenaikan PPN resmi berlaku per 1 Januari 2025, pasca pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131 Tahun 2024. Pasal 2 ayat (3), sebagaimana Presiden Prabowo menegaskan, bahwa pengenaan PPN 12 persen dikenakan pada barang-barang tertentu yang tergolong mewah, seperti kendaraan bermotor, rumah mewah, apartemen, kondominium, tow house, pesawat jet pribadi, dan lain sebagainya.

Walaupun pemerintah melalui Kementerian Pajak mengatakan kenaikan PPN dari 11 persen menjadi PPN 12 persen hanya menyebabkan tambahan harga sebesar 0,9 persen bagi konsumen, tetap saja memiliki dampak signifikan bagi warga-masyarakat kecil, Pak Presiden. Seluruh kebutuhan pokok sekadar untuk hidup, pada naik. Pemerintah tak bisa mengontrol harga di pasar-pasar tradisional.

Narasi kenaikan pajak yang disebut akan menekan daya beli masyarakat, inflasi dan pertumbuhan ekonomi terutama di kelompok menengah ke bawah sehingga diprediksi dapat mengurangi konsumsi domestik, juga tak berbanding lurus dengan kenyataan bahwa daya beli akan kebutuhan dasar rumah tangga tak bisa ditunda. Seperti, cabai rawit yang kini harganya meroket hingga Rp 100 ribu per kilogram.

Perlu Pak Presiden ketahui, bahwa, pada praktiknya, kenaikan PPN 12 persen itu tak sekadar terjadi pada barang-barang mewah. Namun, hampir seluruh kebutuhan pokok masyarakat mengalami kenaikan yang luar biasa. Kalau cabai rawit saja Rp 100 ribu per kilogram, apakah ini yang disebut menciptakan sistem perpajakan yang adil dan pro rakyat? Boleh lah, Pak Presiden turun ke bawah. Melakukan kunjungan ke pasar-pasar tradisional.

Kenaikan pajak berlangsung belum dua pekan. Tapi, masyarakat sudah merasakan dampak yang menguras kantong, Pak Presiden. Kasihan, sudah lapangan pekerjaan jauh dari ideal, pengangguran menjamur, penghasilan rumah tangga lempang kempis bahkan tak menentu, ditambah kenaikan pajak yang kian menghimpit ekonomi masyarakat. Tak sedikit masyarakat yang menjerit akibat kenaikan pajak ini. Mereka hanya bisa berdoa, Pemerintah peka akan situasi dan kondisi riil di bawah.

Pak Presiden, berdasarkan gejolak di masyarakat, kenaikan pajak yang baru berjalan kurang dari dua pekan ini, nyata memberikan dampak pada bertambahnya pengeluaran masyarakat. Utamanya, mereka yang secara ekonomi tidak beruntung dan tergolong kelompok rentan. Mereka harus bersusah payah untuk menghidupi keluarganya. Menyekolahkan anak-anak untuk masa depannya.

Dalam tinjauan Psikologi, pengeluaran yang lebih besar dari pada penghasilan, berpotensi menurunkan kualitas hidup seseorang katena potensial mengancam kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Dampak seriusnya adalah memperburuk ketimpangan ekonomi antara si kaya dan kaum papa. Sudah waktunya Pak Presiden mengevaluasi persoalan pajak ini.

Ad Hoc kan KPU dan Bawaslu

Melihat kenyataan di atas, sudah waktunya Pak Presiden mengevaluasi kenaikan pajak karena bukan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebaiknya, masyarakat menangis karena harus berjuang dan berjibaku dengan penghasilan uang pas-pasan. Tentu, Pak Presiden tak ingin dikenang sebagai pemimpin negeri yang tak punya sensitivitas pada problem dasar bangsa ini. Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi masih menganga di depan mata. Jangan tambah penderitaan mereka.

Solusi alternatifnya bagaimana? Hemat penulis, keberadaan lembaga penyelenggara pemilu daerah, yakni KPU dan Bawaslu Kabupaten/Kota dan Provinsi harus dievaluasi antara manfaat, kegunaan, dan potensi membuang anggaran negara secara cuma-cuma. Bayangkan, setelah penyelenggaraan pemilihan anggota DPRD, DPR dan DPD, pemilihan Presiden, pemilihan Gubenur serta pemilihan Bupati/Wali Kota, praktis KPU dan Bawaslu daerah tidak ada pekerjaan. Namun, mereka terus mendapatkan gaji hingga 5 tahun mendatang.

Jadi, Presiden dapat mempertimbangkan eksistensi KPU dan Bawaslu di daerah tidak lagi menjadi lembaga permanen. Jadikan lembaga ad Hoc yang bekerja sesuai dengan momentum penyelenggaraan pemilu, baik legislatif maupun eksekutif. Jika KPU dan Bawaslu Kabupaten/Kota dan Provinsi se-Indonesia sudah tidak permanen, maka APBN kita akan sehat tanpa memukul rakyat. Sekali lagi, menaikkan pajak itu, termasuk memukul hajat hidup orang banyak.

Bagaimana jika ada pergantian antar waktu (PAW) anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota? Tidak perlu bingung. Cukup serahkan pada KPU Republik Indonesia. Artinya, selain memproses pada tingkat nasional, KPU RI juga meng-cover PAW pada tingkat lokal dan regional. Simple, bukan? Jadi, Pak Presiden tak perlu risau jika KPU dan Bawaslu di daerah dijadikan sebagai lembaga yang tidak permanen.

Apalagi, KPU dan Bawaslu yang menurut sejarahnya, juga lembaga sementara (Ad Hoc). Misalnya, awal berdirinya pada tahun 1982, dikenal dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak). Lembaga ad hoc pemilu ini merupakan penyempurnaan dan bagian dari Lembaga Pemilihan Umum (LPU) di bawah Kementerian Dalam Negeri. Baru pada era reformasi, gelombang dukungan dan tuntutan akan hadirnya penyelenggaraan pemilu yang independen tanpa dibayang-bayangi kekuasaan, dibentuklah Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pada tahun 2003, Panwaslak juga mengalami perubahan menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang bersifat sementara dan terpisah dari KPU. Seiring berjalannya waktu dan banyaknya aspirasi dari publik, Panwaslu berubah menjadi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada tahun 2007 dan resmi menjadi lembaga permanen. Setelah KPU dan Bawaslu tampil sebagai lembaga yang tetap, apakah ada signifikansinya dari lembaga yang masih ad hoc sebelumnya? Tentu, soal kinerja dan kontribusinya dalam kualitas penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada. Juga, pengawasan di dalamnya.

Evaluasi KPU dan Bawaslu

Mengapa penting mengevaluasi keberadaan KPU dan Bawaslu di daerah? Ada sebuah sejarah yang menjadi fakta terbantahkan, yang layak dan patut dicermati bersama. Apa, itu? Terjadi penyelenggaraan pemilu yang dinilai tidak memenuhi rasa kejujuran dan keadilan sehingga terjadi yang namanya kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) pada Pilkada Kotawaringin Barat.

Petahana yang menjadi pemenang Pilkada Sugianto-Eko Soemarno, harus menelan pil pahit lantaran kemenangannya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pasangan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto sebagai penggugat dinyatakan sebagai pemenang oleh MK. Kecurangan TSM ini, tentu tidak hanya petahana yang layak dievaluasi tetapi juga KPU dan Bawaslu.

Pun, pada Pilpres 2019. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno menggugat kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin ke MK dengan dalil kecurangan yang TSM. KPU kembali digugat, Bawaslu juga memberikan keterangan sejauh mana pengawasan yang telah dilakukan. Mahkamah mengejar serius dalil dan bukti yang dihadirkan oleh kuasa hukum pemohon walaupun kemudian tidak terbukti.

Kini, pasca Pilkada Jatim 2024, pasangan Tri Rismaharini-Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans) melayangkan gugatan melalui MK, termohon KPU dengan dalil serupa (TSM), pasangan Khofifah-Emil menjadi pihak terkait, dan Bawaslu harus memberikan keterangan pengawasan yang telah dilakukan di Jatim. Sidang gugatan baru masuk pemeriksaan pendahuluan dengan agenda pembacaan permohonan. Artinya, profesionalitas KPU dan Bawaslu seringkali disoal dalam ruang peradilan yang terhormat, MK.

Peristiwa demi peristiwa terjadi, mengiringi perjalanan panjang ujian profesionalisme KPU dan Bawaslu dalam proses penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada di Indonesia. Belum lagi, pola rekrutmen komisioner KPU dan Bawaslu Provinsi, yang tak pernah sepi dari dugaan lobi-lobi setengah kamar. Sulit dicari buktinya. Ibarat kentut, baunya menyengat tajam tapi bentuk tak dapat diraba dengan indra keenam sekalipun.

Dari saking rapi dan tertutupnya sistem seleksi penyelenggara pemilu selama ini. Konon, siapa saja yang akan terpilih, semacam ada komitmen dengan siapa yang akan berlaga pada Pemilu dan Pilkada. Mengerikan, bukan? Ini menjadi persoalan yang harus segera dipecahkan. KPU dan Bawaslu layak dievaluasi. Tidak saja karena kinerjanya namun ada potensi penghamburan anggaran negara di dalamnya.

Kepada Presiden Prabowo, dari pada mempertahankan kebaikan PPN 12 persen yang baru berjalan dua pekan, sebaiknya melakukan terobosan baru yang berkeadilan. Dengan cara, menjadikan KPU dan Bawaslu sebagai lembaga tidak permanen. Bagaimana jika para komisioner dan mantan KPU dan Bawaslu serta pegiat pemilu teriak lantang soal sikap realistis Pak Presiden? Seperti, kita sudah berjuang agar KPU dan Bawaslu menjadi lembaga permanen, kok sekarang ada gagasan gila yang mendorong agar KPU dan Bawaslu menjadi lembaga ad hoc.

Pak Presiden, percaya dan yakinlah. Di dunia ini, tak ada yang tetap alias permanen. Semua berpotensi berubah alias dinamis. Pun, dengan KPU dan Bawaslu Kabupaten/Kota dan Provinsi. Demi membela rakyat kecil yang hidupnya serba kekurangan tapi harus merasakan kenaikan PPN 12 persen dengan segala akibat buruknya, yang paling realistis dilakukan adalah menurunkan PPN tidak saja PPN 11 persen, jika masih memungkinkan rekayasa pertumbuhan ekonomi, turun ke angka PPN 10 persen akan lebih menggembirakan rakyat Indonesia.

Jadikan KPU dan Bawaslu Kabupaten/Kota dan Provinsi sebagai lembaga ad hoc. Dengan demikian, pemerintah tidak lagi harus mengucurkan anggaran gaji pada lembaga yang sepi dari job dan kontribusinya pada bangsa dan negara dalam 4-5 tahun mendatang. Jika KPU dan Bawaslu sudah ad hoc, maka tiap menjelang pemilu atau pilkada, lakukan seleksi Komisioner. Maka, otomatis para Komisionernya orang baru.

Tidak seperti selama ini. Dalam 5 tahun menjabat, potensi main mata dengan para kontestan, khususnya petahana dalam laga Pilpres dan Pilkada, kecil kemungkinannya. Pak Presiden, Bismillah sudah. Ad hoc kan KPU dan Bawaslu, turunkan PPN ke 11 atau bahkan 10 persen. Selain APBN kita akan surplus besar, pemerintah akan deras pujian dari rakyat. Sejarah akan mencatat, ada Presiden yang begitu mencintai bangsa dan negaranya. Dialah Presiden Prabowo Subianto. (*)

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

LAINNYA
x