Kemendikbudristek baru saja melakukan perubahan besar terhadap Kurikulum Menengah Atas (SMA) tahun ini. Secara resmi, Kemendikbudristek telah mengumumkan sekaligus menetapkan adanya penghapusan penjurusan yang selama ini berlaku di seluruh SMA yang ada di Indonesia. Penghapusan penjurusan ini merupakan salah satu bagian dari implementasi Kurikulum Merdeka yang sebenarnya sudah diterapkan secara bertahap sejak tahun 2021.
Seperti yang kita ketahui, para peserta didik yang hendak melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA akan dikelompokkan atau dipetakan terlebih dahulu ke dalam jurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Namun, tahun ini jurusan tersebut secara resmi telah dihapus dan akan digantikan dengan sistem mata pelajaran pilihan. Pertanyaannya adalah apakah keputusan terkait penghapusan jurusan ini merupakan langkah yang tepat?
Membaca dari pengalaman, jurusan dapat menyebabkan adanya diskriminasi dan penghapusan jurusan merupakan satu-satunya cara yang paling manjur untuk menghapus bentuk diskriminasi yang selama ini terjadi di lingkungan SMA.
Diskriminasi kerap kali dialami oleh para peserta didik yang masuk jurusan IPS dan Bahasa. Diskriminasi itu bisa terjadi karena adanya sebuah stigma yang selama ini berkembang di masyarakat, di mana jika anak yang masuk jurusan IPA itu biasanya adalah anak yang rajin dan pintar, sementara anak yang masuk jurusan IPS dan Bahasa itu biasanya adalah anak-anak yang nakal dan kerap kali dipandang sebagai anak-anak yang kurang pintar dalam akademik. Bahkan sampai saat ini, tak sedikit masyarakat yang masih menjadikan ilmu sains dan matematika sebagai standar kepintaran seseorang. Maka tak heran, anak-anak yang masuk jurusan selain IPA biasanya akan dipandang rendah di lingkungan masyarakat.
Hal tersebut yang kemudian membuat sebagian besar murid takut dan merasa gengsi jika harus masuk jurusan selain IPA. Mereka takut nantinya akan dipandang rendah oleh lingkungan sekitar. Hingga pada akhirnya, mereka memaksakan diri untuk masuk jurusan IPA meskipun, mereka tahu dan sadar betul jika kemampuan mereka bukan di bidang tersebut.
Tak hanya para peserta didik, tak sedikit dari para orang tua yang juga pada akhirnya memaksa anak-anak mereka untuk masuk jurusan IPA. Selain karena anak IPA dipandang sebagai anak yang pintar dan rajin, banyak dari para orang tua yang juga menganggap jika jurusan IPA memiliki peluang kerja yang lebih besar dan bagus.
Akibatnya, banyak peserta didik yang akhirnya merasa salah jurusan. Selain salah jurusan, standar kepintaran yang diukur dengan ilmu sains dan matematika pada akhirnya hanya akan membuat para peserta didik merasa rendah diri dan menganggap dirinya bodoh.
Padahal, kemampuan setiap anak itu berbeda-beda. Ada yang pintar di bidang sains dan matematika, ada pula yang pintar di bidang sosial, serta ada juga yang pintar di bidang bahasa. Albert Einstein pernah berkata “semua orang adalah jenius. Tetapi, jika anda menilai seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon, maka ia akan menjalani seluruh hidupnya dengan percaya bahwa ia bodoh”.
Perkataan Albert Einstein tersebut menyiratkan bahwa setiap orang memiliki keunikan dan keahliannya masing-masing. Menilai seseorang berdasarkan kemampuan yang tidak sesuai dengan bakat atau potensinya akan menghasilkan kesimpulan yang salah tentang dirinya.
Berbicara soal ketepatan, sebenarnya hampir setiap kebijakan akan memiliki plus minusnya masing-masing, begitu pula dengan kebijakan ini. Sehingga, jarang sekali ada sebuah kebijakan yang benar-benar tepat hingga seratus persen. Selain itu, penilaian setiap orang pasti berbeda-beda. Kebijakan yang menurut kita baik, tepat dan dapat memberikan dampak positif di masa depan , belum tentu orang lain juga berpikir demikian. Tetapi, jika tujuan dari penghapusan jurusan ini adalah untuk menghapus bentuk diskriminasi yang selama ini terjadi, maka langkah ini sudah tepat.
*Nadia Yasmin Dini
No Comments