x

Pesantren, Konstruksi Moral, dan Pelecehan Seksual: Sebuah Ironi di Balik Tembok Suci

5 minutes reading
Wednesday, 2 Jul 2025 04:34 207 detektif_jatim

Oleh: Mauzun Visioner (Bendahara Umum PIK-R Ganding)

__________________

Kekerasan seksual di pesantren menjadi wabah destruktif yang menciderai entitas agama dan moral. Ilegalisasi seks atas nama agama menjadi cacat permanen yang dapat menggerus keimanan  secara kolektif. Bahkan, menjelmanya pengasuh sebagai predator seksual menambah kesan apatisasi yang mengingkari prinsip pesantren dalam menjunjung nilai agama dan moral.

Terlibatnya pengasuh sebagai predator seksual dengan cepat mencuat di berbagai media pemberitaan. Mudah viralnya kasus ini, disebabkan ketidak laziman sikap yang terjadi di lembaga pendidikan, yakni pondok pesantren. Hal ini tentunya menjadi study kasus kontra diktif yang menambah kesan paradoks. Secara normatif, tentunya ini menuntut para pemangku pesantren untuk kembali meneguhkan etika dan nilai yang telah menjadi landasan luhur dalam berbagai dimensinya.

Menyikapi fenomena ini, tentunya perlu menggunakan metode kritis-analitis. Hal ini sebagai bentuk strategi untuk menguak apa yang sebenarnya terjadi. Benarkah ini perkara khilaf atau kebejatan terencana atas dalih agama?

Analisis Pesantren, Antara Konstruksi Moral dan Pelecehan Seksual

Seiring berkembangnya arus modernisasi, eksistensi nilai pesantren mengalami pasang surut. Kesan ironi mulai menjadi dinamika problematis yang kian mengundang perhatian publik. Hal ini disebabkan,  merebaknya tindak amoral yang mengingkari kodrat kesantrian. Mulai bullying, homo, gay, hinggal yang paling rentan dan tengah booming adalah kekerasan seksual. Kasus ini seolah mengisi setiap dimensinya, menjadi wabah di balik tembok spiritualitas yang sangat prinsipil. Bahkan, mirisnya kekerasan seksual di pesantren banyak dilegalisasi langsung oleh oknum kyai atau ustadz-ustadzah yang seharusnya menjadi panutan bagi santrinya. Hal inilah yang kian menimbulkan hegemoni kekerasan seksual di lingkungan pesantren.

Untuk memverifikasi hal tersebut, tentunya dapat kita lihat dari kasus kekerasan seksual yang telah merebak di lingkungan pesantren. Beberapa study kasusnya adalah sebagai berikut. Kyai dan anak di Trengggalek cabuli belasan santrinya. Hal ini sudah berlangsung sejak tahun 2021 dan baru terungkap tahun 2024 (tempo.com). Selanjutnya yang masih cukup hangat diperbincangkan kasus kekerasan seksual seorang pimpinan pesantren di Sumenep. 13  perempuan mengaku alami kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh pemilik sekaligus pengurus salah satu pondok pesantren di Pulau Kangean, Sumenep, Jawa Timur (bbc.com)

Problematika tersebut, telah menjadi realitas bobrok yang memukul telak nilai dan prinsip pesantren. Secara normatif, kita dibuat yakin oleh _cover_ pesantren yang mentereng, agamis dan prinsipil, namun secara  realitas semua dimensinya tidak lebih dari sekadar rumah prostitusi yang dilegalkan. Dapat kita garis bawahi, bahwa hari ini pesantren tidak selalu lebih aman dari pada jalanan yang katanya dihuni para preman. Jauh lebih berbahaya preman di balik tembok suci yang  menjadikan agama sebagai permadani untuk menghalalkan tindak seksualitas. Ketika demikian, penanaman etika-moralitas pada santri hanyalah bersifat tekstual bukan kontekstual.

Bahkan, mirisnya pesantren turut berkembang sebagai distributor angka pelecehan seksual yang eskalatif. Dalam pemantauan Komnas Perempuan, kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama dan berasrama tergolong tinggi dibandingkan lembaga pendidikan secara umum (komnasperempuan.go.id). Hal ini tentunya bukan perkara khilaf orang ahli agama, akan tetapi kejahatan berstruktur yang terencana.

Tentunya hilirisasi tindak amoral tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor. Pertama, relasi kekuasaan berlapis antara pelaku pengasuh dan guru di pesantren yang memanfaatkan otoritas pengaruhnya kepada para santriwatinya. Kedua, sikap fanatik masyarakatan dalam mengagungkan para pengasuh dan guru pesantren. Terakhir, rasa takut korban dan keluarga, sebab khawatir mendapat hambatan dari segi pendidikan, sosial, dan keberkahan dalam hidup. Paralelitas faktor ini tentunya perlu ditindak lanjuti secara efektif, intensif serta komprehensif dari hulu ke hilir.

Meneguhkan Kembali Nilai Pesantren

Secara sistematika, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berpegang teguh pada pengembangan ajaran Islam dan pembangunan akhlaqul karimah. Prinsip ini telah menjadi ciri khas dan karakter mulai sejak didirikannya pesantren. Secara kolektif, akhirnya pondok pesantren diyakini sebagai lembaga pionir untuk memperkuat nilai keismalan serta etika-moralitas santri.

Gusdur pernah mengatakan, Menurut Gus Dur (Jurnal Pesantren, 1985), salah satu karakteristik utama keilmuan pesantren adalah kurikulumnya yang serba fiqh-sufistik; pengembangan dan pembumian ilmu fiqh (hukum Islam) yang didasari nilai-nilai keluhuran etik-moralitas. Sebagaimana perspektif Dhofier (Tradisi Pesantren, 1982), tujuan pendidikan pesantren bukan sekadar untuk menguatkan intelektualitas. Namun, aspek yang lebih penting ialah untuk mempertajam moralitas, mengembangkan semangat, menghargai nilai-nilai spiritualitas dan kemanusiaan, serta membekali santri dengan hidup sederhana dan kebersihan hati (majelismasyikh.id)

Dewasa ini, prinsip dan nilai luhur  tersebut Ibarat narasi fiktif di atas  kompleksitas problematika pelecehan seksual di pesantren. Secara regulatif, fenomena tersebut  tentunya memerlukan penanganan yang komprehensif. Tidak hanya dalam konteks efek jera pada pelaku, tapi juga pemulihan terhadap korban, serta meneguhkan kembali nilai pesantren dalam segala aspek kehidupan.

Merefleksi nilai pesantren sebagai bahan evaluasi dan proyeksi bukan hanya tugas pemangku pesantren, melainkan semua elemen, baik santri maupun masyarakat secara umum. Sebab, hal tersebut bukan perkara _muthola’ah_ semata seperti metode pembelajaran, akan tetapi bersifat kontekstual yakni dengan prinsip dan konsistensi sikap dalam mengimplementasikan nilai luhur pesantren di segala aspek kehidupan. Oleh karenanya, perlu sinergitas antar semua elemen untuk dapat mewujudkan  kesadaran kolektif dan dampak yang masif.

Sebagai salah satu bentuk implementasi dalam mewujudkan masifikasi dampak yang koheren maka sudah sepatutnya kita menyadari bahwa nilai pesantren sangat lekat dengan prinsip keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan. Tidak ada prioritas kasta yang membuat seseorang mendapat dispensasi sanksi atas perbuatan bejatnya. Guru atau kyai sekalipun, patut mendapat hukuman setimpal apabila melakukan tindak amoral. Kita sebagai manusia yang memiliki kedudukan setara di mata agama dan hukum tidak sepatutnya ciut dalam menyuarakan hak dan keadilan. Konstruksi pola pikir, moral, mental, serta spiritualitas yang kokoh harus kembali dikibarkan sebagaimana perjuangan dan cita-cita mulia para kyai dan santri terdahulu.

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

LAINNYA
x