Oleh: ABD. AZIZ
Advokat, Legal Consultant, Lecture, Mediator Non Hakim, dan CEO Firma Hukum PROGRESIF LAW. Kini, Sekjen DPP Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK)
Di sela kesibukan menyusun pendapat hukum (legal opinion), gadget berdering. Rupanya, telepon masuk dari Profesor Musdah Mulia. “Astaga, ini bukan perempuan sembarangan,” gumam dalam hati. Berapa tidak, tokoh perempuan kenamaan, peneliti kegamaan, yang juga penulis produktif ini adalah wanita pertama yang menerima gelar Ph.D dalam pemikiran Islam dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1997).
Tak hanya itu, penerima Penghargaan sebagai Wanita Pemberani Internasional dari Amerika Serikat (2007) itu, dipercaya oleh Ibu Megawati Soekarnoputri memimpin Megawati Institute, yang bertujuan meluruskan sejarah pemikiran Bung Karno yang banyak diselewengkan di masa lalu sekaligus membumikan Pancasila sebagai ideologi bangsa.
“Ayo, healing sambil diskusi kebangsaan,” pintanya di ujung telepon. Tak berpikir panjang untuk mengiyakan ajakannya. “Siap, Bunda,” respon penulis padanya. Maklum, tak bersua penasihat senior Kementerian Agama (1999-2007) itu, sudah tiga belas tahunan. Terakhir, saat Seminar Internasional Kegamaan di Jakarta pada medium 2007. Kala itu, bersama Romo Frans Magnis Suseno sebagai pembicara.
Juga, waktu Seminar Nasional Keagamaan yang digelar Keluarga Besar Mahasiswa Bidikmisi (KBMB) UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dimana ia didapuk sebagai narasumber, panel bersama Kiai Syukron Ma’mon, Pengasuh Pondok Pesantren Daarul Rahman, Jakarta (2010). Perjumpaan dua tokoh, yang satu dianggap liberal-modern sedang satunya dikenal singa podium yang agamis.
Akhirnya, penulis memenuhi janji bertemu dengan aktivis HAM, pluralisme, dan perempuan yang dikenal gigih itu. Dan, suatu kehormatan, karena dijemput dengan menggunakan kendaraan yang biasa ditumpangi Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Profesor M. Amin Abdullah, eks Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Maklum, Bunda Musdah bersama M. Amin Abdullah, Hariyono, Mahfud MD, Usman Hamid, Garin Nugroho Riyanto, Darmaningtyas, dijadwalkan memberi materi dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) bertema “Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara: Etika Sosial dan Pendidikan”, yang diselenggarakan oleh BPIP dan UM di Aula Graha Rektorat Lantai 9 Universitas Negeri Malang, Senin, 2 September 2024.
Nah, pada Minggu, 1 September 2024 siang, penulis bersama Bunda Musdah bergegas melaju ke Kota Wisata Batu. Selain mampir di Alun-alun yang demikian eksotik dengan logo Apel-nya yang jumbo, kemudian memilih bersantai di Pos Ketan Legenda 1967. Sambil menikmati ketan durian dan jamu bakar ASSIKHA Gold, diskusi kebangsaan berlangsung hangat.
Mulai dari pentingnya pendidikan karakter pada mahasiswa, penanaman nilai-nilai kejujuran dalam menulis karya ilmiah, konstitusi yang dikangkangi oleh sebagian elite, politik nasional yang makin terjebak pada pragmatisme dan kapitalisme, etika berbangsa dan bernegara yang rapuh hingga kepemimpinan nasional yang legitimasinya kian terjerembab. Semua dibincangkan secara apik.
“Saya mengajar di berbagai kampus. Dalam hal kejujuran, serius sekali. Mahasiswa harus rajin belajar. Baca banyak referensi. Tidak boleh plagiat! Apalagi, kalau bimbingan tugas akhir. Skripsi, tesis, dan disertasi. Ada sekitar tujuh puluh delapan Disertasi yang saya batalkan saat ujian,” ungkap istri Profesor Ahmad Thib Raya, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, itu.
“Saya tidak ingin, ada doktor tidak berkualitas secara keilmuan. Jika menulis karya ilmiah tidak jujur, bagaimana nanti kembali ke tengah masyarakat?” tambah sosok yang dikenal dekat dengan putri sang Proklamator dalam soal-soal keagamaan di Indonesia ini.
“Sama, Bunda. Waktu membahas kontrak belajar dengan mahasiswa, membuat karya ilmiah harus membaca dan menulis sendiri. Referensinya buku dan jurnal. Tidak boleh ada sumber website, yang potensial menyalin dan mengganti nama penulisnya,” timpal penulis padanya meyakinkan.
“Waktu mengumpulkan makalah, pribadi atau kelompok, saya bertanya. Apakah anda menulis sendiri? Bagi yang merasa tidak menulis sendiri, artinya plagiat, segera ambil kembali dan pekan depan kumpulkan ke meja dosen,” urai singkat sambil diikuti anggukan perempuan yang anti poligami ini.
Tak lama, pesanan ketan durian tersaji di meja. Segera mencicipinya. Terlihat, para pengunjung berjubel antri. Rasa boleh sama dengan tempat lain. Namun, sensasi mengantri-nya terasa beda. Beda sekali. Penulis juga lama tak menyantap ketan yang demikian fenomenal ini. Sebelum berangkat, sengaja tak mengisi perut. Benar saja, sangat menikmati. Bunda Musdah juga demikian.
“Jika kita menyaksikan wajah Negeri ini, miris sekali. Coba perhatikan. Hukum dimainkan sedemikian rupa. Dirubah seenaknya. Demi memenuhi hasrat berkuasa lebih. Padahal, kekuasaan itu ada batasnya. Tak boleh dibuat main-main demi segelintir orang. Apa-apaan, itu!” tegas pendiri Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) ini.
“Kita ini malu, lho pada para pendiri bangsa. Mereka pasti sedih menyaksikan generasi Republik ini, yang dipenuhi rasa ambisius tak berkesudahan. Mempertontonkan nafsu keserakahan. Sampai melabrak etika yang paripurna. Kritik dari akademisi lintas Perguruan Tinggi diabaikan. Kesedihan budayawan diacuhkan,” tandas perempuan yang kritik-kritiknya demikian tajam ini.
“Muak! Satu kata yang tepat disematkan pada mereka yang serta merta melabrak hukum yang sudah pakem berjalan. Bahkan, beberapa oknum di Mahkamah Konstitusi (MK) terkesan membungkuk pada kekuasaan. Bersyukur, dua putusan yang teranyar cukup melegakan hati publik, memenuhi keadilan masyarakat. Satu, putusan nomor 60/2024 tentang ambang batas pencalonan kepala daerah; dua, putusan nomor 70/2024 tentang batas usia minimal calon kepala daerah,” beber penulis sambil meneguk minuman.
“Ironisnya, dalam waktu dua puluh empat jam pasca putusan MK, DPR coba membangkang dengan buru-buru hendak melakukan revisi Undang-Undang Pilkada. Untung, para aktivis mahasiswa menggaungkan perlawanan yang heroik hingga para wakil rakyat itu melunak,” kata penulis menghela nafas panjang.
“Tak sedikit partai politik menjelma menjadi sapi ompong menghadapi kekuasaan. Mereka berlomba mendekat pada kuasa dan paduka-nya. Pragmatisme benar-benar menjadi faham yang tak bisa lepas dari pikiran dan badan politisi. Mudah sekali mengangguk pada penguasa. Entahlah. Apa sebenarnya yang terjadi hingga tak bisa berbuat apa-apa,” keluh penulis buku Perjalanan Lintas Batas: Lintas Agama, Lintas Gender, Lintas Negara (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Desember 2023), ini.
“Seolah mereka tak bisa makan tanpa menghamba pada kekuasaan. Jika idealismenya sebagai politisi sudah habis, tidakkah mereka masih punya nurani yang bisa memandu sikapnya?” tanya pejuang kemanusiaan yang malang melintang ke lima puluh satu Negara di dunia ini.
“Namun, jika didekati dalam perspektif psikologi kepribadian, kriminologi, dan filsafat, apa yang terjadi pada mereka sehingga menjadi pemuja kuasa, sang penguasa tak sepenuhnya patut dikambinghitamkan. Pada dasarnya, tak ada adagium kekuasan menyandera. Merekalah yang menyandra diri sendiri. Jika mereka clear and clean (jelas dan bersih), sudah barang tentu memiliki kemerdekaan berfikir dan kemandirian pendapat,” kritik penulis pada mereka yang kerap berdalih soal adanya kekuasan yang menyandera.
“Pertanyaannya, apakah mereka benar-benar jelas dan bersih, khususnya dari korupsi? Ini membutuhkan jawaban yang jujur. Sebaliknya, jika tidak clear and clean, yang terjadi adalah kekompakan menganggukkan kepala. Masih mending kompaknya paduan suara. Gema dan iramanya enak didengar,” koreksi penulis terhadap apa yang tampak di muka, di belakang, dan di balik layar.
“Saat hukum dipermainkan. Saat kuasa disalahgunakan. Saat kepemimpinan tak lagi wibawa. Maka, akan memproduksi warisan (legacy) kepemimpinan yang tidak ideal untuk tidak mengatakan menjadi preseden buruk! Kasihan bangsa ini. Sudah susah dalam menjalani kehidupan, dibuat mikir para pemimpinnya yang ugal-ugalan. Sudahlah. Tinggalkan kekuasaan dengan cara yang baik. Sehingga masyarakat bersimpati,” harapnya dengan sungguh-sungguh.
“Praktik kuasa yang tak mencerminkan hadirnya Negarawan harus dihentikan. Tak boleh kita biarkan. Bagaimana kita bisa mendidik bangsa ini ke arah yang lebih baik jika para wakil rakyat dan pemegang kekuasaan melanggar etika berbangsa dan bernegara. Jauh panggang dari api!” tutup Anggota Dewan Pengawas DPP Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK) ini.
“Benar. Kesuksesan seorang pemimpin itu, diukur dengan konsistensinya dalam berfikir, bersikap, dan bertindak. Jika tidak, akan dikenang sebagai pemimpin yang gagal. Kunci kesuksesan seorang pemimpin, dalam pandangan filsafat Madura, ada tiga macam. Ketiganya, jika diketahui, difahami, dan dijiwai ia akan dicatat sebagai orang yang layak menyandang predikat Negarawan Sejati.
“Pertama, pemimpin itu boleh hebat. Bahkan tak tertandingi sekalipun. Namun, ingatlah satu hal. Ada waktunya jatuh. Kedua, mangga jatuh tak harus karena dilempar batu. Namun, sudah matang tak dipetik. Lalu, lama kelamaan membusuk. Kemudian, jatuh ke tanah. Ketiga, ingatlah pada asalnya agar tak lupa jalan pulang,” tandas penulis yang belajar menjadi pencinta atau pencari kebijaksanaan walau bukan seorang filsuf.
Tak sadar, hari kian sore. Matahari beranjak menuju peraduannya. Bunda Musdah ada meeting kembali di Hotel. Dialog kebangsaan eksklusif pun sepakat diakhiri. Tokoh yang mengajak berbincang, juga butuh istirahat. Hemat energi karena esoknya sampaikan materi. Soal kerapuhan etika berbangsa dan bernegara.
Tak lupa, penulis lontarkan untaian terima kasih atas undangan dialog yang menginspirasi. Terlebih, telah memberikan hadiah istimewa, buku terbarunya, Perjalanan Lintas Batas setebal enam ratus tiga puluh halaman. Insya Allah butuh tiga kali dua puluh empat jam untuk melahap karya Bunda Musdah.
Semoga, dalam waktu yang tidak terlalu lama, sudah bisa meminta Pengantar Buku kedua penulis, berjudul: Meniti Jalan Terjal: Sebuah Otobiografi. Kisah perjalanan hidup penulis dalam dunia advokasi (yang) konsisten memihak kesadaran nurani walau harus menjemput resiko yang tak biasa! Syukurlah, Bunda Musdah bersiap membantu untuk terbit di Obor, Jakarta. (*)
No Comments