Detektifjatim.com – Beberapa bulan belakangan ini masyarakat Indonesia dibuat geger dengan adanya kasus-kasus perundungan dan kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan yang agamis seperti pesantren, meskipun berita tersebut mencuat di tengah polemik kasus yang sama di lingkungan sekolah, kampus dan masyarakat, namun masyarakat lebih tendensius terhadap kasus kekerasan dan perundungan yang terjadi di lingkungan pesantren, terlihat dari dampak berita buruk tersebut menyebabkan banyak orang tua yang sudah mulai tidak percaya menitipkan anaknya di pesantren, hal tersebut dikarenakan dalam paradigma masyarakat, pesantren sebagai Lembaga Pendidikan yang bertujuan meningkatkan potensi peserta didik atau santri agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab sesuai dengan tujuan pendidikan nasional dan ditambah dengan karakter metode pendekatannya yang agamis membuat pesantren dianggapnya sebagai tempat suci yang terlindungi dari segala keburukan dan kemaksiatan, masyarakat lupa bahwa di dalam pesantren yang mengurusi adalah juga manusia-manusia yang penuh dengan khilaf salah.
Maka memutuskan untuk mencabut izin operasional sebuah pesantren yang terindikasi melakukan kekerasan seksual dan perundungan adalah langkah yang kurang tepat, karena bagaimana pun Lembaga Pendidikan keagamaan harus ada dan terbuka di tengah-tengah masyarakat, maka mengambil keputusan dengan mencabut izin operasional adalah langkah yang menunjukkan bahwa pihak Kementerian Agama telah gagal dalam mendiagnosis akar permasalahannya.
Menghilangkan kekerasan seksual dan perundungan di tengah-tengah masyarakat sama halnya sebuah dongeng yang tidak mungkin terjadi namun bisa diminimalisir, maka dari itu yang perlu kita lakukan adalah menciptakan tameng diri pada anak-anak sedini mungkin, sejak ia dalam asuhan Ibu sebagai salah satu langkah preventif terhadap segala bentuk kejahatan termasuk kekerasan seksual dan perundungan di luar sana, karena keluarga sebagai salah satu bagian dari tri pusat pendidikan menjadi faktor yang sangat penting yang akan selalu mempengaruhi anak sepanjang hidupnya. Keluarga, utamanya seorang Ibu yang mana adalah perempuan, memiliki peran penting dalam mengasuh anak sebagai penuntun, pengasuh, pengajar, dan pemberi contoh bagi anak, sebagaimana yang kita tahu bahwa Ibu adalah madrasah pertama anak sebelum ia masuk ke dalam Lembaga Pendidikan formal seperti pesantren ataupun sekolah, maka dari itu perempuan dituntut untuk pandai karena ia adalah tonggak peradaban yang mempersiapkan generasi terbaik untuk masa depan.
Kewajiban seorang perempuan menjadi pandai, sebenarnya sudah diajarkan dalam kehidupan Rasulullah. Banyak perempuan pandai di sekelilingnya yang terekam sejarah, karena dianggap berpengaruh dan memberikan sumbangan besar bagi perkembangan Islam. Salah satunya adalah Ibunda Aisyah Radhiyallahu Anha adalah sosok yang sangat cerdas yang melahirkan banyak ahli ilmu. Urwah bin Zubair generasi tabiin, ia adalah satu dari tujuh fuqoha’ di Madinah yang dididik langsung oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha. Maka beliau adalah sosok “Gurunya Ulama”, wajib bagi kita menjaga adab terhadap ahli ilmu sebagaimana generasi tabi’in saat itu sangat menghormati dan memuliakan Ibunda Aisyah R.A. yang menjadi sumber ilmu dan rujukan untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul saat itu, berkat keluasan ilmu dari Ibunda Aisyah dan upaya besar yang dilakukannya untuk menyampaikan ilmunya yang diperoleh dari Nabi.
Selain istri Rasulullah, banyak ummahatul mukminin yang juga berperan dalam peradaban. Dan beliaulah bentuk nyata pengaruh didikan yang luar biasa dari seorang perempuan kepada anaknya, benar-benar menunjukkan betapa berpengaruhnya pola asuh seorang perempuan itu terhadap karakter anak, maka dari itu di momen ini sangatlah tepat untuk merevitalisasi kembali pola asuh anak yang tepat sesuai dengan perkembangan zamannya sebagaimana shahabiyah-shahabiyah terdahulu dalam mendidik seperti yang dicontohkan.
Telah banyak penelitian-penelitian terkait dengan bagaimana pengaruhnya pola asuh orang tua atau lebih khususnya adalah ibu terhadap karakter anak, seperti yang dikatakan Irma Khoirsyah (2016) bahwa dalam pembentukan karakter anak cenderung lambat atau bahkan tidak berkembang sama sekali ketika pendidik tidak melibatkan orang tua atau lebih khususnya adalah ibu dalam pembentukan karakter tersebut, dan didukung oleh penelitian Kustilah Sunarti (2016) bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kemandirian anak dengan pola asuh ibu, maka dari itu perlu adanya formula yang tepat dalam menguatkan kembali pola asuh seorang ibu kepada anak, sehingga nantinya anak atau peserta didik yang akan dimasukkan ke lembaga formal seperti pesantren ataupun sekolah sudah mampu menerpa badai kriminalitas di lingkungannya, atau dengan kata lain, anak telah siap dengan bekalnya untuk mengarungi dunianya yang tentu kedepannya akan dihadapkan dengan semakin buruknya zaman karena mendekati akhir zaman. Sebagaimana dalam penelitian Qurrotu Ayun (2017) disebutkan bahwa metode pola asuh yang digunakan oleh orang tua kepada anak menjadi salah satu faktor utama selain karena genetik, yang menentukan potensi dan karakter seorang anak.
Maka pola asuh seperti apa yang cocok diterapkan untuk anak-anak kita ? perlu kita ketahui bersama bahwa terdapat tiga macam jenis pola asuh anak menurut Baumrind yakni, pola asuh demokratis, permisif dan otoritas. Pola asuh demokratis memberikan kebebasan kepada anak dengan penuh tanggung jawab, pola asuh ini terdapat adanya pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu bergantung. Pola asuh ini mendidik dan memberikan kebebasan yang bertanggung jawab pada anak. Dengan memiliki kebebasan yang bertanggung jawab, anak akan mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya dengan baik. sedangkan pola asuh otoriter merupakan cara mendidik anak dengan menggunakan kepemimpinan otoriter, yaitu orang tua menentukan semua kebijakan, langkah dan tugas yang harus dijalankan. Pola asuh ini mencerminkan sikap orang tua yang bertindak keras dan cenderung diskriminatif, hal ini ditandai dengan tekanan anak untuk patuh kepada semua perintah dan keinginan orang tua tanpa terkecuali, kontrol yang sangat ketat terhadap tingkah laku anak, anak kurang mendapatkan kepercayaan dari orang tua, anak sering dihukum karena dianggap melakukan pelanggaran, apabila anak mendapat prestasi jarang diberi pujian atau hadiah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dari orang tua otoriter memiliki lebih banyak tekanan dibandingkan dengan anak-anak yang diasuh oleh orang tua permisif.
Pola asuh permisif mempunyai ciri orang tua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat sehingga terkadang anak melakukan tindakan yang melawan aturan. orang tua tidak memberikan hukuman dan pengendalian. Pola asuh ini ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas pada anak untuk berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri, orang tua tidak pernah memberikan aturan dan pengarahan kepada anak, sehingga anak akan berperilaku sesuai dengan keinginannya sendiri, sehingga dalam pola asuh ini, anak yang cenderung ingin tahu dengan dunianya, dia mengesksplore sendiri rasa ingin tahunya tersebut sehingga anak cenderung berpotensi kepada pergaulan bebas dan bebas mencoba hal-hal haram tanpa ia tahu dampaknya.
Dari penjelasan ketiga metode tersebut sudah dapat kita simpulkan bahwa metode yang tepat untuk pola asuh anak adalah dengan pola asuh demokratis, yang diimbangi dengan mulai membuka diri pada anak terutama ketika melakukan dialog untuk menciptakan hubungan yang baik dan harmonis agar anak dapat mengungkap permasalahan dan kebutuhannya, tanpa takut kepada orang tua terutama ibu yang dekat padanya, agar nantinya ketika ia mendapatkan perundungan atau pelecehan seksual yang dilakukan oleh teman ataupun gurunya, anak tersebut tidak sungkan untuk menceritakan kepada orang tua ataupun pihak-pihak berwenang, sehingga dibutuhkan beberapa strategi memberikan pendidikan dengan metode keteladanan, pembiasaaan, perhatian, dan nasehat kepada anak, seperti contoh memberikan sex education yang sederhana dengan usia sedini mungkin pada umur 5-6 tahun, seperti memberikan edukasi bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh ataupun dilihat yang bukan mahramnya, baru setelah usia 6-8 tahun, ibu sebaiknya mulai membicarakan apa yang akan terjadi ketika mereka mulai pubertas. Tujuannya, sebagai persiapan anak ketika mengalami masa tersebut, dari penguatan karakternya pun akan lebih tertata pada pola asuh yang demokratis itu, karena ibu tidak hanya memberi nasehat tapi juga sebagai teladan yang baik bagi anaknya.
Maka dari itu dari semua penjelasan sebelumnya, perempuan sebagai tonggak peradaban dilarang abay dalam hal mendidik anak karena sebagaimana kata pepatah, ketika perempuan mendidik seorang lelaki maka sama halnya mendidik seorang pemimpin namun jika ia mendidik seorang perempuan seperti halnya ia sedang membangun sebuah peradaban. Sayangnya sekarang ini, kebanyakan keinginan yang hendak dicapai oleh kaum perempuan disabotase dengan adanya paham-paham yang dilahirkan dari kelamnya peradaban barat. Kebanyakan dari mereka belum memahami betapa krusialnya peran perempuan dalam peradaban ini, maka perlu untuk mengingatkan kembali perannya agar sesuai dengan misi ilahiyah yang telah Allah amanahkan, ketika telah dari rahim seorang anak dipersiapkan dengan baik, maka akan meminimalisir terjadinya pelanggaran-pelanggaran dalam norma agama dan sosial, serta mereka akan siap menghadapi berbagai macam badai kriminalitas peradaban dengan iman. Maka hal tersebut sangatlah membantu dalam mendukung terciptanya Pesantren Ramah Anak, pihak pesantren juga bisa mengimbangi dengan mengadopsi beberapa policy yang digunakan beberapa lembaga pendidikan dalam mitigasi resiko pelanggaran hak anak dalam sekolah ramah anak.***
*Wiwin Endarwati : Mahasiswa Program study Akuntansi Universitas Madura, tinggal di Pulau Madura tepatnya di Desa Bulay Kecamatan Galis Kabupaten Pamekasan, tidak hanya aktif sebagai anggota dalam organisasi PMII naungan Rayon Abu Hanifah Komisariat Unira, penulis juga aktif dalam beberapa organisasi kepemudaan Nahdliyin seperti PC IPPNU Kabupaten Pamekasan dan Pemuda Muslim Moderat.
No Comments