TANGSEL, DETEKTIF Jatim – Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan adalah tokoh “luar biasa”. Panggung politik nasional yang tersaji di depan kita hari ini adalah karyanya. Peran Jokowi pun diatur oleh jenderal purnawirawan ini. Kebetulan Jokowi menikmatinya meskipun harus merelakan kekuasaannya pada Luhut. Toh, menurut anggapannya, semua yang dilakukan Luhut akan bermuara pada kepentingan dan kemuliaannya.
Sebagai sutradara, setiap aktor di atas panggung hanya beracting sesuai arahan Luhut. Kasarnya mereka adalah aktor-aktor ciptaannya. Prabowo, Ganjar, Muhaimin, Zulhas, dan Airlangga Hartarto, tak punya daya untuk berimprovisasi. Mengapa demikian?
Jawaban sederhana adalah Luhut ingin menguasai panggung selama mungkin, kalau bisa seumur hidup. Kekuasaan adalah kenikmatan tiada tara yang sudah lama diimpikan Luhut dan kini ada dalam genggamannya.
Sejatinya panggung ini milik rakyat, yang dipercayakan kepada Jokowi untuk mengelolanya. Sayang, rakyat memberikan wewenang kepada orang yang salah. Panggung ini terlalu besar dan megah untuk dikelola seorang Jokowi yang tak punya kapasitas moral dan intelektual untuk itu.
Tapi karena pengelola panggung adalah orang yang mendapat penghormatan tinggi dari rakyat — yang mengira mereka akan sejahtera dituntun Jokowi — ia terima mandat itu. Toh, nantinya ia akan delegasikan kepada pembantunya yang banyak akal. Juga banyak niat. Dialah Luhut, pensiunan perwira tinggi yang dilatih untuk membunuh musuh.
Kecuali PDI-P, Nasdem, Demokrat, dan PKS, sisa lima lagi parpol parlemen (Gerindra, PKB, PAN, PPP, dan Golkar) berada dalam genggaman Luhut. Dia, meskipun yang tak punya partai, terbukti mampu mengendalikan pemimpin parpol-parpol ini. Bahkan, Nasdem dan PKS pun — kendati mandiri — tak bisa sebebas-bebasnya bermanuver karena harus memperhitungkan kemungkinan respons Luhut. Toh, Nasdem khususnya adalah parpol koalisi pendukung “pemerintahan Luhut.”
Terbata-batanya Nasdem, Demokrat, dan PKS membangun koalisi — yang hingga hari ini belum mantap — tak bisa lepas dari pengaruh Luhut. Sepanjang yang kita ketahui, Nasdem dan PKS dirayu, ditekan, bahkan mendapat ancaman dari Luhut untuk tidak mencapreskan Anies Baswedan. Beruntung Paloh gigih menolak masuk dalam permainan Luhut. Hubungan Paloh-Luhut memang tak harmonis. Bahkan sejak awal dia meminta Jokowi tidak memasukkan Luhut ke dalam kabinet.
Kesulitan PDI-P, yang hingga hari ini belum juga menetapkan capres yang diusung, tak juga bisa dipisahkan dari realitas panggung politik nasional ciptaan Luhut. Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (Gerindra-PKB) yang mestinya menjadi habitat politik yang nyaman bagi PDI-P karena kesamaan visi dan misi tak dapat didekati PDI-P karena ada tangan Luhut di sana.
Ketum Gerindra Prabowo Subianto dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar adalah orang-orang Luhut. Kalau Prabowo harus patuh pada Luhut untuk memungkinkannya bertahan di kabinet dan berharap mendapatkan dukungan Jokowi bagi pencapresannya, Cak Imin adalah pasien rawat jalan. Sementara Luhut adalah musuh besar Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri sejak lama. Sebagaimana Paloh, Mega pun menentang keinginan Jokowi merekrut Luhut ke dalam kabinetnya sejak awal pembentukan kabinet pada 2014.
Luhut adalah sahabat bisnis Jokowi sejak Jokowi masih menjabat Walikota Solo. Penentangan Mega dan Paloh terhadap Luhut mengisyaratkan dua hal. Pertama, mereka sangat mengenal watak Luhut yang ambisius. Kedua, mereka tak percaya Jokowi yang lemah dapat mengendalikannya.
Di kemudian hari, apa yang ditakutkan keduanya jadi kenyataan. Karena sangat bergantung pada visi dan otaknya, Luhut menjadi penguasa sesungguhnya di pemerintahan Jokowi. Menteri-menteri PDI-P dan Nasdem pun tak berkutik di hadapannya.
Kebenciannya Mega terhadap Luhut kian mengkristal karena Jokowi ternyara lebih patuh pada Luhut ketimbang dirinya. Lebih sial lagi, teater politik nasional hari ini tak berpihak pada PDI-P. Kalau saja partai ini punya aspiran capres sendiri dengan elektabilitas tinggi, mungkin saja ia mencapreskan kadernya tanpa perlu berkoalisi dengan parpol lain yang, di luar Nasdem, Dempkrat, dan PKS, telah dicemari tangan Luhut.
Sementara faktanya, elektabilitas Puan Maharani, yang sudah lama dipersiapkan Mega untuk kelak menduduki jabatan RI1 atau RI2, hingga kini masih jeblok. Padahal, waktu untuk meningkatkan elektabilitasnya tinggal sedikit.
Sebenarnya PDI-P punya kader populer dan konsisten berada di tiga besar sebagai aspiran capres bersama Prabowo dan Anies. Namun, lagi-lagi Ganjar adalah orang Jokowi (baca: Luhut). Karena merupakan pasien rawat jalan sebagaimana Cak Imin, Hartarto, dan Zulhas, Ganjar berada di bawah ketiak Luhut.
Sekiranya ia jadi presiden, di mata PDI-P akan terjadi deja vu: pengalaman dengan pemerintahan Jokowi yang dikendalikan Luhut akan terulang. Ganjar akan juga merekrut Luhut ke dalam kabinetnya sebagai balas budi. Inilah yang menjelaskan mengapa PDI-P bukan saja menjauhi Gabjar, tapi juga membunuh karakternya.
Bergabung dengan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) juga tak memungkinkan karena koalisi ini milik Luhut. Dialah yang membentuknya. KIB yang digadang-gadang akan mencapreskan Ganjar, sehingga diharapkan akan memaksa PDI-P bergabung ke dalamnya, gagal total. Tanpa dukungan PDI-P, nilai jual KIB bersama Ganjar tidak signifikan. Kalau PDI-P bersedia bergabung dengan KIB asalkan kader partai itu — di luar Ganjar — menjadi capresya (misalnya, Puan), syarat ini tidak akan diterima karena di luar Ganjar PDI-P tak punya kader potensial untuk memenangkan pilpres.
Sepintas nampak Luhut di mana-mana. Namun, terbukti kemudian, Luhut tak sepenuhnya menguasai panggung karena ia tak mengendalikan Paloh. Luhut tak berpikir pentingnya mengendalikan Paloh mungkin karena dia sudah merasa aman, selain tak mudah menundukkan tokoh ini tentunya. Ia tak membayangkan suatu hari Paloh akan berpaling ke Anies, yang pada pilgub DKI Jakarta 2017 Nasdem mendukung Ahok, bukan Anies.
Terlebih, sebelumnya Nasdem yang memiliki media arus utama ikut mengamplifikasi Anies sebagai pengusung politik identitas. Nasdem tak punya pilihan lain karena Anies satu-satunya aspiran capres potensial yang berada di luar orbit Luhut. Pada saat yang sama, setelah lima tahun memimpin Jakarta, tuduhan politik identitas tidak terbukti.
Kinerja Anies di Jakarta malah sangat mengesankan. Dia pun menjadi masyhur di seluruh Indonesia dan disambut komunitas internasional. Duet Luhut-Jokowi dalam menekan Paloh untuk membuang Anies hingga hari ini tidak berhasil.
Tidak seperti Nasdem, ruang manuver PDI-P tak banyak karena kesalahannya sendiri, yakni mengharamkan berkoalisi dengan Demokrat dan PKS berdasarkan pada alasan yang sumir dan trivial. Tak heran, Mega menentang Demokat dan PKS masuk ke dalam parpol koalisi pendukung pemerintahan Jokowi.
Bagaimanapun, kesalahan Mega ini kini terbukti secara tidak sengaja membuat skenario Luhut tidak bisa berjalan sempurna. Dengan menjadi oposisi, Demokrat dan PKS tidak dikendalikan Luhut. Panggung politik settingan Luhut yang cacat, kesalahan sendiri yang dibuat Mega, dan kepiawaian Paloh memainkan jurusnya, menghadirkan drama politik nasional yang menegangkan, yang berpotensi menjadi bumerang bagi Luhut.
Ketidaksempurnaan settingan Luhut inilah yang kini kita lihat bagaimana ia berusaha memperpanjang masa jabatan presiden, yang diikuti berbagai usaha menjegal Anies. Lagi-lagi Luhut belum atau mungkin tak akan pernah berhasil karena upaya pertama dihadang Mega, sementara usaha kedua dimentahkan Paloh. Bagaimana akhir kesudahan drama ini?
Tidak ada seorang pun yang tahu. Bahkan Luhut, Mega, dan Paloh pun tak tahu. Penyebabnya, karena ada faktor penentu yang tidak mereka kuasai: rakyat. Aspirasi rakyatlah yang berperan mengendalikan batas-batas ruang manuver mereka.
Politik nasional masih dinamis. Tapi ruang manuver Mega menjadi lebih sempit dengan ketiadaan aspiran capres yang menjanjikan. Peluang Luhut sebagai bidan yang akan melahirkan pemerintahan mendatang dengan bayi yang diharapkannya juga menyempit.
Sebaliknya, situasi dan kondisi ini rupa-rupanya menguntungkan Anies. Kalau nanti Koalisi Perubahan tetap mantap pada komitmen mengusung Anies hingga hari pendaftaran capres-cawapres, sedangkan koalisi parpol lain muncul dengan aspiran capres yang kini digadang-gadang, kemenangan Anies berada di depan mata.
Tetapi harus tetap diingat bahwa Luhut adalah politisi yang banyak akal, powerful, dan nekat. Dua adalah orang yang tak siap menghadapi kekalahan karena itu akan dilihat sebagai pukulan pada harga dirinya. Artinya, penundaan pemilu dan penyingkiran Anies bisa saja terjadi. Turbulensi sosial-politik yang mungkin tercipta sebagai akibatnya justru bisa merupakan hal yang diinginkan Luhut untuk menjustifikasi pembatalan pemilu.
Smith Alhadar
Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)
Tangsel, 5 Maret 2023
No Comments