Oleh: Aliya Zahra (Ketua Umum PIK-R Ganding)
_____________________
Keluarga dianggap sebagai lingkungan inti masyarakat dan ruang awal tempat harapan serta kesehatan mental bertumbuh. Dalam budaya Indonesia, keluarga bukan sekadar unit sosial, melainkan ruang sakral yang membentuk identitas, nilai, dan ketahanan emosional individu. Namun, narasi romantis ini sering kali bertabrakan dengan realitas yang jauh lebih kelam. Di tengah gempuran modernisasi, tekanan ekonomi, dan stigma sosial, beberapa keluarga kerap gagal menjadi lingkungan sehat mental, sebab malah menjadi sumber konflik dan trauma. Menganggap keluarga sebagai pucuk asa tanpa kritik tajam terhadap dinamika internal dan eksternalnya adalah sikap naif yang mengabaikan kompleksitas zaman.
Realitas menunjukkan bahwa keluarga sering kali menjadi medan pertempuran ketimbang oase harapan. Tekanan ekonomi, misalnya, mendorong orang tua bekerja hingga kelelahan, meninggalkan anak-anak tanpa kehadiran emosional. Hubungan keluarga menjadi transaksional: orang tua menyediakan kebutuhan materi, sementara anak kehilangan ruang untuk berbagi beban emosional. Dalam banyak kasus, tekanan ini memicu kekerasan domestik—fisik maupun psikologis—yang menghancurkan esensi keluarga sebagai tempat aman. Data dari Komnas Perempuan menunjukkan angka kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia tetap tinggi, dengan ribuan kasus dilaporkan setiap tahun. Bagaimana keluarga bisa disebut pucuk asa ketika bagi sebagian orang, rumah justru menjadi sumber trauma?
Modernisasi dan globalisasi memperparah situasi. Media sosial dan budaya populer membombardir generasi muda dengan standar hidup tidak realistis, menciptakan tekanan mental yang sulit diatasi dalam keluarga. Nilai-nilai lokal seperti gotong royong atau hormat kepada orang tua terkikis oleh individualisme yang dipromosikan budaya Barat. Keluarga yang seharusnya menjadi filter budaya malah sering kali kalah bersaing dengan algoritma media sosial. Anak-anak lebih terpapar pada influencer daripada nasihat orang tua, sementara orang tua sendiri terjebak dalam perlombaan status sosial. Akar harapan yang diharapkan tumbuh dari keluarga pun terancam oleh keterputusan emosional dan budaya ini.
Stigma kesehatan mental di Indonesia menjadi duri dalam daging. Keluarga sering gagal menjadi ruang aman untuk membicarakan masalah psikologis karena anggapan bahwa depresi atau kecemasan adalah kelemahan pribadi, bukan isu yang perlu ditangani bersama. Banyak anggota keluarga, terutama anak muda, memilih menyembunyikan penderitaan mereka karena takut dihakimi. Padahal, keluarga seharusnya menjadi garda terdepan dalam mendeteksi dan mendukung kesehatan mental. Kegagalan ini disebabkan oleh minimnya jangkauan edukasi dan akses ke layanan kesehatan mental, terutama di daerah terpencil. Pemerintah yang seharusnya mendukung keluarga melalui kebijakan ramah kesehatan mental, sering kali absen, meninggalkan keluarga berjuang sendiri di tengah keterbatasan.
Dalam hal ini perlu kecerdasan dari sosok perempuan. Keseimbangan antara peran ibu, istri, dan pekerja menjadi beban ganda yang menggerus kesehatan mental perempuan. Ketimpangan gender ini tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga keluarga secara keseluruhan, karena ketidakadilan menciptakan ketegangan yang melemahkan ikatan emosional. Keluarga yang sehat mental harusnya menjadi ruang di mana semua anggota, tanpa memandang gender, bisa berkembang tanpa tekanan peran yang kaku.
Kesenjangan ekonomi semakin memperumit peran keluarga sebagai lingkungan harapan. Keluarga miskin atau di daerah terpencil sering kali tidak memiliki akses ke pendidikan atau layanan kesehatan, termasuk kesehatan mental. Anak-anak dari keluarga ini tumbuh dengan harapan yang rapuh, terhimpit oleh kemiskinan dan keterbatasan sistemik. Sementara itu, keluarga kelas menengah ke atas tidak luput dari masalah, karena tekanan untuk mempertahankan status sosial sering kali mengorbankan kebersamaan. Dalam kedua konteks, harapan yang seharusnya ditanamkan keluarga menjadi barang mewah yang sulit diwujudkan tanpa dukungan struktural dari masyarakat dan negara.
Harapan Masa Depan
Meski penuh tantangan, keluarga tetap memiliki potensi sebagai lingkungan kecil yang menumbuhkan kesehatan mental dan harapan. Namun, potensi ini tidak akan terwujud tanpa perubahan mendasar. Keluarga harus berani menantang stigma, membuka ruang dialog tentang kesehatan mental, dan membangun komunikasi yang inklusif. Pemerintah harus hadir dengan kebijakan yang konkret, seperti akses layanan kesehatan mental yang terjangkau dan pendidikan yang merata. Masyarakat juga perlu menghapus narasi idealis tentang keluarga yang sempurna, mengakui bahwa keluarga adalah ruang dinamis yang rentan, namun mampu beradaptasi. Hanya dengan kritik tajam dan aksi kolektif, keluarga bisa benar-benar menjadi pucuk asa yang tidak hanya bertahan, tetapi juga memberdayakan.
No Comments