x

Euforia Hari Ibu; Akselerasi Melawan Patriarkis atau Wacana Utopis?

3 minutes reading
Monday, 23 Dec 2024 12:37 238 detektif_jatim

Oleh ; Mauzun Visioner (Pegiat Literasi)

Momentum hari ibu menjadi euforia Nasional. Sejak ditetapkannya tanggal 22 Desember, sebagai National Mother’s Day menjadi semacam niscaya untuk  pemberdayaan hak-hak perempuan.  Sebagaimana history revolusi ini diprakarsai oleh perempuan-perempuan pribumi  dalam melawan budaya patriarki.

Berawal dari gerakan para perempuan pejuang kemerdekaan tepatnya pada tanggal  22-25  Desember 1928,  diselenggarakannya Kongres Perempuan Indonesia yang pertama kali di Yogyakarta. Berlanjut pada tahun 1938, Kongres Perempuan Indonesia III di Bandung dengan menghasilkan pernyataan bahwa tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu (kemenpppa.go.id).

Ditilik dari kaca mata emansipatif hal ini menjadi pencapaian subtantif. Karena secara otoritatif hal tersebut memberi legitimasi bahwa peranan perempuan sangat berdampak terhadap pembangunan nasional. Walaupun sampai kini, isu keperempuanan masih menjadi bulan-bulanan masa akibat jumudnya mindset masyarakat terhadap kesetaraan gender.

Memaknai Ulang Momentum Hari Ibu

Peringatan hari Ibu yang ke-96 Tahun 2024 memiliki kesan sinergis. Karena, mengusung Tema khusus yang sangat subtantif, yakni “Perempuan Menyapa Perempuan Berdaya Menuju Indonesia Emas 2045”. Hal ini bertujuan untuk mengapresiasi keberhasilan perempuan dalam mendukung kemajuan bangsa dengan sensitivitas dan kepekaan sosial yang dimiliki merupakan aset berharga bagi bangsa menuju Indonesia Emas 2045 (banten.tribunnews.com).

Selaras dengan makna hari Ibu yang diprakarsai pahlawan perempuan pada masa kemerdekaan, bahwasannya hari ibu sebagai bentuk penghormatan kepada setiap peran ibu, atau peran perempuan secara universal di berbagai lini kehidupan masyarakat.  Sehingga hari ibu diresmikan sebagai hari memperingati persatuan perjuangan kaum perempuan.

Dewasa ini, nilai-nilai hari ibu senyatanya belum mampu menyentuh berbagai sendi kehidupan. Peringatan yang dilaksanakan setiap tahun seperti ajang formalitas untuk menggugurkan kewajiban. Euforia mayoritas orang sebatas citra yang dipoles dalam wacana utopis. Apresiasi sekadar memberi ucapan untuk menyemarakkan trend sosial media. Sehingga implikasinya tidak begitu signifikan dalam konteks pemberdayaan perempuan.

Tak ayal, jika banyak para perempuan masih didiskreditkan pada hal yang bersifat patriarkis. Bahkan ironisnya sampai berujung pada tindak kekerasan yang frontal. Baik kekerasan fisik maupun psikis. Dilansir dari komnasperempuan.go.id, menurut komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (General Recommendation No. 19 (1992) CEDAW Committee) menjelaskan bahwa kekerasan berbasis gender adalah berbagai bentuk kekerasan baik kekerasan fisik, psikis, dan seksual yang terjadi yang berakar pada perbedaan berbasis gender dan jenis kelamin yang sangat kuat di dalam masyarakat.

Itulah sebabnya, definisi hari ibu harus lebih dari sekadar momentum tahunan. pemaknaannya harus benar-benar menyentuh dalam sendi-sendi kehidupan. Sebagai wujud realisasi dari pemaknaan tersebut adalah menjadikan setiap hari sebagai hari ibu. Para perempuan dari semua kalangan diberikan ruang untuk merdeka dalam berperan. Sehingga, nilai dari lahirnya momentum hari ibu tidak menjadi wacana utopis, melainkan akselerasi untuk melawan patriarkis.

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

LAINNYA
x