SUMENEP, detektifjatim.com – Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) mengkritik tajam Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. KPU dinilai telah melanggar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang partai atau gabungan partai politik peserta pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.
KPU juga dinilai melanggar putusan MK nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang penetapan syarat usia cagub dan cawagub harus berumur 30 tahun saat penetapan calon.
Ketua Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Zamrud Khan mengatakan KPU seharusnya segera mengambil langkah konkret untuk menyesuaikan Peraturan KPU (PKPU) sesuai dengan putusan MK.
Namun, yang terlihat adanya penundaan dan indikasi penafsiran ulang terhadap putusan. Zamrud menilai langkah itu tindakan “pembangkangan” terhadap lembaga hukum tertinggi di Indonesia.
“Ini potret pembangkangan KPU terhadap putusan MK. Putusan MK bersifat final dan mengikat, tidak seharusnya ditunda pelaksanaannya. Mereka seharusnya segera menyesuaikan PKPU dengan putusan MK, bukan malah memperlambat prosesnya atau mencoba menafsirkannya ulang. Ini bukanlah hal yang bisa dianggap sepele,” prihatinnya.
Zamrud juga menyoroti peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurutnya, Bawaslu bisa saja dianggap bertindak berbeda jika tidak mengambil sikap tegas dalam mengawasi implementasi putusan MK
“Bawaslu juga bisa dianggap berbeda jika tidak mengambil sikap untuk meminta klarifikasi dari KPU. Jika ada indikasi pelanggaran, Bawaslu seharusnya mengambil tindakan lebih lanjut dengan merekomendasikan hasil klarifikasinya untuk dibawa ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP),” jelasnya
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya peran Bawaslu dalam memastikan KPU bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Sekretaris Indonesia Voter Initiative for Democracy (IViD) Jawa Timur itu mengingatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memiliki kewenangan untuk menafsirkan ulang apalagi menganulir putusan MK.
Menurutnya, tugas DPR dalam hal ini adalah memastikan bahwa lembaga terkait, termasuk KPU, menjalankan tugasnya sesuai dengan putusan MK tanpa ada upaya penafsiran ulang yang tidak diperlukan.
“DPR itu tidak bisa lagi menganulir atau menafsirkan ulang putusan MK. Yang seharusnya dilakukan oleh DPR adalah mendorong KPU untuk segera merubah PKPU-nya agar sesuai dengan putusan tersebut. Ini penting untuk menjaga kredibilitas dan integritas proses pemilu,” ujarnya.
Zamrud menyoroti kekhawatirannya terhadap independensi lembaga tersebut. Jika KPU terus bertindak seperti ini, maka cara berpikir mereka bisa dianggap rusak.
“Sangat jelas terlihat bahwa mereka tidak lagi independen dalam menjalankan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu. Ini bisa merusak kepercayaan publik terhadap proses pemilu yang seharusnya berlangsung secara jujur dan adil,” paparnya
Zamrud juga menyinggung dugaan adanya keterkaitan antara sikap KPU yang dianggap tidak independen dengan kenaikan insentif mereka yang baru saja disetujui Presiden Joko Widodo. Diketahui, Presiden Jokowi baru-baru ini menaikkan insentif bagi anggota KPU sebesar 50%.
Zamrud menilai, kenaikan insentif anggota KPU bisa mempengaruhi independensi dan integritas KPU. Kenaikan insentif itu menjadi sorotan. Seharusnya, ketika insentif meningkat, diikuti oleh peningkatan kinerja dan integritas.
“Namun, jika yang terjadi malah sebaliknya, di mana KPU justru terkesan mengabaikan putusan MK. Maka wajar jika publik curiga ada hubungan antara kenaikan insentif dan sikap KPU yang tidak independen,” ungkapnya.
Zamrud menilai, transparansi dan akuntabilitas KPU harus lebih diperkuat, terutama ditengah situasi kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu sangat krusial.
“Dengan kenaikan insentif ini, KPU seharusnya lebih termotivasi untuk bekerja dengan penuh integritas dan sesuai dengan aturan hukum. Namun, jika yang terlihat justru sebaliknya, maka ini bisa menimbulkan kecurigaan dan merusak kepercayaan masyarakat,” katanya (*/hal/ady)
No Comments