x

Hampa di Salareh Aia: Menatap Reruntuhan, Membaca Trauma di Balik Senyum Hangat

3 minutes reading
Monday, 8 Dec 2025 12:58 18 detektif_jatim

Oleh : Afdal Salputra
Mahasiswa Hukum Keluarga
Uda Literasi Duta Kampus 2025
Universitas Islam Negeri Imam Bonjol Padang

Setiap perjalanan selalu menyisakan makna, namun perjalanan kali ini menuntut lebih dari sekadar memberi. Sabtu, 6 Desember 2025, saya dan teman-teman angkatan memulai pergerakan menyusuri ruang-ruang hampa yang kini menyelimuti hati setiap jiwa yang tersisa. Ini adalah perjalanan untuk menjemput refleksi, di tengah puing-puing kesedihan.

Nagari Salareh Aia, Kecamatan Palembayan, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Dulu, ia adalah gambaran kemakmuran yang damai: pemukiman yang asri diapit hamparan sungai jernih dan sawah yang membentang hijau. Kini, keindahan itu hanya tinggal kenangan yang pahit. Wilayah itu telah berubah menjadi hamparan puing; luluh lantak digulung oleh amuk banjir bandang.

Air, kayu, batu, dan lumpur bersatu dalam sebuah kemarahan yang dilepaskan secara mendadak. Ia bukan lagi aliran sungai yang menenangkan, melainkan sebuah palu godam raksasa yang mencari jalan untuk membebaskan semua material yang telah lama tersimpan di hulu.

Perjalanan ini terasa panjang, bukan karena jarak, melainkan karena beban emosi yang kami bawa. Ia menjadi cermin refleksi bagi diri, sebuah kesempatan untuk melihat langsung bagaimana warga yang selamat dari maut kini berjuang melawan trauma yang menusuk.

Saat bertatap muka, mereka menyambut dengan senyum yang hangat, sebuah keajaiban daya tahan manusia. Namun, senyum itu tipis, hanya mampu menutupi luka yang menganga: kehilangan yang tidak tersembunyikan.

Mereka kehilangan segalanya. Rumah, sawah sebagai ladang penghidupan, bahkan harta yang paling tak ternilai: orang yang paling disayang. Ada yang harus merelakan Ayah, ada yang kehilangan Ibu, Anak, bahkan ada yang terpisah sebatang kara dari seluruh keluarganya. Mereka berdiri di persimpangan trauma, tak tahu arah dan tujuan, hanya bisa mencari dan mengingat.

Mendengar cerita langsung dari warga lokal adalah pengalaman yang tak terbayangkan ngerinya. Sore itu, yang mestinya menjadi waktu untuk bercengkerama, menghilangkan lelah, kurang dari 30 menit menyapu dengan menyisakan lumpur, kayu dan bebatuan yang besar. Air dari hulu datang bukan hanya sebagai banjir, tetapi membawa material penghancur yang merenggut rumah dan nyawa. Dalam sekejap, semua yang mereka miliki hilang.

Sore yang tenang kini abadi menjadi trauma mendalam. Bagi mereka, matahari terbenam bukan lagi penanda istirahat, melainkan pengingat bisu akan saat di mana hidup mereka terbelah, antara yang masih bernapas, dan yang telah terseret.

Mereka mungkin kehilangan harta, tanah, dan orang-orang terkasih dalam sekejap mata. Tetapi dalam setiap senyum tipis di balik puing-puing itu, kami menemukan kebenaran yang jauh lebih besar: meskipun air bah telah merenggut banyak hal di Salareh Aia, ia gagal merenggut semangat untuk bertahan dan harapan untuk kembali berdiri. Inilah panggilan bagi kita semua: untuk tidak membiarkan kenangan pahit ini menjadi akhir, melainkan awal dari babak baru kepedulian.

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

LAINNYA
x