x

Santri, Kiai, dan Tuduhan Feodalisme

4 minutes reading
Sunday, 19 Oct 2025 05:56 559 detektif_jatim

Hubungan santri dan kiai kerap disalahartikan oleh sebagian orang luar pesantren sebagai bentuk feodalisme.

Padahal, penghormatan santri kepada gurunya bukanlah praktik mempertuhankan manusia, melainkan cerminan adab terhadap ilmu.

Di tengah maraknya tuduhan bahwa kiai memperkaya diri lewat penghormatan santri, penting untuk menegaskan kembali: tradisi tawadhu’ di pesantren adalah warisan spiritual yang menumbuhkan cinta, bukan ketundukan buta.

Kemuliaan Ilmu

Kita semua sepakat bahwa ilmu adalah sesuatu yang mulia. Dengan ilmu, manusia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Ketika masih tersemat sebagai pengetahuan dalam akal, ilmu sudah menjadi pencerah bagi pemikiran.

Apalagi ketika ilmu itu diamalkan dan dibagikan kepada orang lain, tentu ilmu menjadikan hidup seseorang lebih terarah.

Dalam Al-Qur’an banyak ayat yang menegaskan kemuliaan ilmu. Salah satunya yang familiar di telinga kita adalah:

Yarfai‘illāhu alladzīna āmanū minkum walladzīna ūtū al-‘ilma darajāt — Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu.

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumuddin menegaskan, manusia dibedakan dari hewan oleh ilmunya.

Keduanya sama-sama makan, minum, tidur, dan memiliki hasrat, namun ilmu menjadikan manusia lebih tinggi derajatnya.

Immanuel Kant juga menegaskan, “Man can only become man by education.

He is nothing but what education makes of him.” (Manusia hanya dapat menjadi manusia karena pendidikan; ia tidak lain adalah hasil dari pendidikan yang membentuknya).

Demikian pula Imam Ibnu Al-Mubarak berkata, “Lā a‘lamu darajatan ba‘dan nubuwwah afḍala min batstsil ‘ilm.” (Saya tidak mengetahui ada derajat setelah kenabian yang lebih utama daripada mengajarkan ilmu).

Dari sudut pandang mana pun, bahkan dalam agama apa pun, ilmu adalah sinar yang mengusir kegelapan kebodohan.

Menghormati Ilmu

Dalam keyakinan santri, kemuliaan ilmu memengaruhi siapa pun yang “tersentuh” olehnya.

Ketika ilmu berada dalam diri seseorang, maka kemuliaan ilmu itu juga memuliakan orang tersebut.

Karena itu, seorang guru, dosen, atau kiai dimuliakan bukan karena status sosialnya, tetapi karena ilmu yang melekat padanya.

Menghormati guru atau kiai bagi seorang santri adalah kewajiban, sebab di dalam diri mereka tersimpan ilmu dan bimbingan.

Lebih dari itu, penghormatan kepada kiai adalah bentuk rasa terima kasih atas pendidikan yang telah diberikan.

Yang semula santri tidak tahu cara beribadah dan bersosial, akhirnya menjadi tahu karena bimbingan sang guru.

Jasa Guru dan Cinta Seorang Murid

Peran guru dan kiai terhadap murid tidak kalah penting dari peran orang tua.

Orang tua menumbuhkan jasmani, sedangkan guru membentuk rohani dan akal. Ki Hajar Dewantara berkata, “Tanpa guru, manusia hanya dapat sedikit berkembang. Guru ibarat pelita dalam kegelapan, penerang jalan kehidupan.”

Kesadaran akan jasa besar ini melahirkan rasa cinta dan penghormatan yang tinggi kepada kiai.

Bentuknya beragam: ada yang memberi uang ketika sowan, ada yang membawa pakaian, sembako, bahkan hasil panen atau kendaraan.

Semua itu bukan karena kiai meminta, melainkan murni lahir dari keikhlasan dan kebanggaan santri.

Di banyak pesantren, tidak sedikit kiai yang tetap hidup sederhana.

Ada yang masih menunggui dapur umum santri, ada pula yang setiap hari membimbing ngaji tanpa pamrih, meski sudah berusia lanjut.

Bagi para santri, bisa memberi sesuatu kepada guru adalah kebahagiaan tersendiri—bentuk cinta yang sulit dimengerti oleh mereka yang tak pernah nyantri.

Ali bin Abi Thalib RA. berkata, “Anā ‘abdu man ‘allamanī harfan wāḥidan.” (Aku adalah budak bagi orang yang mengajarku satu huruf saja). Ungkapan ini bukan perendahan diri, melainkan penghormatan tertinggi kepada ilmu dan pengajarnya.

Para santri alumni pun biasanya memberikan sesuatu yang terbaik sesuai profesinya masing-masing.

Petani membawa hasil panen terbaiknya, nelayan membawa tangkapan terpilih, pedagang memberikan hasil usahanya yang paling bernilai.

Semua dilakukan dengan tulus sebagai ungkapan cinta dan rasa syukur.

Namun demikian, setiap pemberian dari santri atau masyarakat kepada kiai sering kali tidak digunakan untuk kepentingan pribadi.

Banyak kiai justru memanfaatkannya untuk menunjang pendidikan pesantren—memperbaiki asrama, membeli kitab, atau membantu santri yang kekurangan biaya.

Dengan begitu, manfaatnya kembali lagi kepada para santri sendiri.

Salah Paham terhadap Pesantren

Sayangnya, hal ini sering tidak dipahami oleh masyarakat luar pesantren. Belakangan muncul framing negatif terhadap kiai dan dunia pesantren.

Tanpa pernah hidup di lingkungan itu, sebagian orang menilai dari potongan video atau unggahan media sosial lalu menuduh kiai hidup mewah karena pemberian santri.

Lebih parah lagi, ada yang menganggap sikap tawadhu’ dan penghormatan santri sebagai budaya feodal yang sengaja dirawat untuk memperkaya diri.

Tuduhan seperti ini sungguh berlebihan dan jauh dari kenyataan.

Padahal, hampir semua pesantren berdiri karena keikhlasan.

Para kiai lebih banyak memberi daripada menerima. Mereka mendidik tanpa digaji, menuntun tanpa pamrih, dan menjadikan pesantren sebagai ladang ibadah.

Mereka yang pernah hidup di pesantren tahu betul: kemuliaan seorang guru bukan terletak pada harta yang ia simpan, melainkan pada ilmu yang ia tanam.

Penghormatan santri kepada kiai bukan bentuk feodalisme, tetapi pancaran cinta dan adab terhadap ilmu.

Semoga para kiai senantiasa mendapat perlindungan dan kekuatan dari Allah SWT untuk terus istiqamah mendidik moral anak bangsa, meski tanpa gaji dan tanpa pamrih. Amin.*

*Penulis : Nurul Hidayat, M.Pd. (Ketua Dewan Ma’hadiyah Pondok Pesantren Mamba’ul Ulum Bata-Bata Pamekasan)

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

LAINNYA
x