x

Sowan pada Rais Am PBNU

4 minutes reading
Sunday, 7 Dec 2025 04:47 16 detektif_jatim

Oleh: ABDUL AZIZ

Warga Nahdlatul Ulama (NU). Kini, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK)

Setiap pertemuan antar individu, telah diatur dan memiliki tujuan yang menjadi ketetapan ilahi dalam interaksi manusia. Itulah konsepsi takdir, yang menyiratkan bahwa kebetulan (tiba-tiba) hanyalah cara pandang manusia terhadap rencana yang terencana. Untuk itu, jangan pernah meremehkan kekuatan kata-kata dalam mempererat tali silaturrahmi. Sedangkan kata-kata bijaksana adalah bahan bakar dalam menjaga api persatuan.

Dalam sela aktivitas menyiapkan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK) Periode 2025-2029, penulis berkesempatan silaturrahim ke Kiai Miftachul Akhyar, ulama kharismatik yang juga Rais Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jl. Kramat Raya 164, Jakarta Pusat, Selasa (2/12) malam. Ini sowan kali kedua pada pemimpin tertinggi di Ormas Islam terbesar di dunia ini. Pertama, sekira medium 2014 di Pondok Pesantren Miftachussunah yang diasuhnya, Jl. Kedung Tarukan 100, Tambaksari, Surabaya, Jawa Timur.

Putra Kiai Abdul Ghoni yang lahir pada 1953 ini merupakan alumni Pondok Pesantren besar, seperti Bahrul Ulum (Tambakberas), Darul Ulum (Rejoso), Sidogiri (Pasuruan), Al-Islah (Lasem), dan Majelis Ta’lim Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki (Malang). Tak heran, jika keilmuannya yang mendalam mengantarkannya pada posisi strategis di NU, dari tingkat Cabang hingga Pusat. Pun, di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kiai Miftachul Akhyar terpilih sebagai Ketua Umum (2020-2025), yang karena fokus sebagai Rais Am PBNU, mengundurkan diri (2022) dan digantikan oleh Kiai Anwar Iskandar, yang untuk kedua kalinya menahkodai MUI.

Penulis mengenal Kiai Mif (biasa disapa) sebagai sosok pemimpin yang berkarakter, dan sangat berhati-hati dalam setiap ucapan dan tindakannya. Artinya, ia tidak terbiasa tergesa-gesa (‘ajalah, tasarru‘) dalam mengambil keputusan penting yang menyangkut kepentingan perkumpulan maupun keumatan. Termasuk, menggarisbawahi pelbagai perspektif dan mendengarkan saran serta masukan dari para ulama dan berpedoman pada syariat maupun konstitusi organisasi. Karenanya, figurnya lekat dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi serta pertimbangan yang matang. Apa konfirmasinya? Sebelum memutuskan sesuatu, telah memperkaya informasi sekaligus mentabulasi masukan-masukan konstruktif dari para Kiai hingga menjadi keputusan bersama.

Singkatnya, tokoh yang lekat dengan performance sederhana, rendah hati (low profile), santun dalam melayani tamu secara langsung, juga memiliki ketegasan dalam menjaga prinsip-prinsip organisasi, seperti tergambar dalam keputusan-keputusan penting yang menyangkut NU. Sepak terjang dan sejarah panjang dalam mengelola sebuah organisasi keagamaan inilah, yang mengundang perhatian dan apresiasi tingkat dunia, dan menempatkan Kiai Miftachul Akhyar sebagai salah satu tokoh muslim berpengaruh di dunia (2022) versi The Royal Islamic Strategi Studies Center dalam kategori Administration of Religious Affairs (administrasi urusan agama). Sebuah penghargaan internasional yang tak jarang diperoleh oleh kebanyakan tokoh.

Kembali ke silaturrahim. Saat penulis memasuki ruang Rais Am PBNU, Kiai Miftachul Akhyar langsung berdiri dari tempat duduk, menghampiri tamu yang datang dan mempersilahkannya duduk. Penulis bergumam pelan. “Sungguh mulia akhlak Rais Am dalam menerima tamu. Terhadap orang awam sekalipun. Bahkan, pada saya, yang belum apa-apa karena memang bukan siapa-siapa.” Sebuah sikap yang potensial tidak dimiliki oleh semua tokoh. Gaya bicaranya lembut, tenang, dan tidak mengandung nada tinggi, apalagi meledak!

Untuk kedua kalinya, penulis berbicara dalam hati. “Dalam situasi dan kondisi apapun, Kiai Miftachul Akhyar terlihat tenang. Hemat penulis, seseorang yang tenang dalam kondisi genting sekalipun, menggambarkan kecerdasan emosional-nya yang tak diragukan. Sebaliknya, orang yang reaktif dan meledak-ledak dalam merespon sesuatu, mengkonfirmasi kecerdasan emosional-nya yang rapuh.”

Karena sadar bahwa, sosok yang berada di hadapan penulis padat kegiatan dan tak sedikit tamu yang menanti, akhirnya pamit undur diri, kemudian balik kanan. Malam itu, langit kawasan Kramat Raya tampak gerimis. Seperti biasa, para sahabat Banser berjaga. Suasana begitu tenang. Sebelum meninggalkan gedung PBNU, penulis teringat dawuh Gus Dur yang berkorelasi pada tugas seorang pemimpin, seperti terurai dalam Coloteh Gus Dur, Jakarta, 2017, hal.70.

Dalam Islam, kepemimpinan haruslah berorientasi kepada pencapaian kesejahteraan orang banyak. Ini sesuai dengan asas yurisprudensi Islam (Qawaid Al Fiqhiyyah). Kebijakan dan tindakan seorang pemimpin haruslah terkait langsung pada kepentingan rakyat yang dipimpinnya (Tasharrufu al-Imami ‘ala ar-Ra’iyyati Manuthun bi al-Maslahati). Untuk Nahdlatul Ulama’ yang kita banggakan. Teruslah berkhidmat pada umat. Maju merawat negeri, progresif dalam berkontribusi.***

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

LAINNYA
x