x

Deepfake: Menggugat Realitas dan Fondasi Sosial

6 minutes reading
Tuesday, 21 Oct 2025 02:54 106 detektif_jatim

Oleh: Moch. Rizky Pratama Putra

Mahasiswa S2 Sosiologi Universitas Negeri Surabaya

Di tengah gelombang digital yang tak terbendung, sebuah fenomena telah muncul, mengubah premis paling mendasar dari interaksi manusia: melihat bukan berarti percaya.

Teknologi deepfake, media sintetis yang dihasilkan oleh Kecerdasan Buatan atau Akal Imitasi (AI) untuk meniru suara, wajah, dan tindakan seseorang secara sangat meyakinkan, bukan lagi sekadar trik sinematik.

Ia adalah sebuah anomali sosial yang mengancam kohesi dan tatanan masyarakat kontemporer.

Dalam kacamata sosiologi, deepfake bukan hanya masalah etika atau teknis, melainkan sebuah krisis epistemik yang menuntut peninjauan ulang terhadap fondasi kolektif kita tentang realitas.

Erosi Kepercayaan: Hilangnya Pelumas Sosial

Inti dari kehidupan sosial—mulai dari perdagangan sederhana hingga demokrasi yang kompleks—adalah kepercayaan.

Sosiolog Niklas Luhmann menyebutnya sebagai mekanisme reduksi kompleksitas; kepercayaan memungkinkan kita berfungsi tanpa harus memverifikasi setiap informasi atau niat.

Selama berabad-abad, “bukti visual” (video, foto, rekaman suara) telah menjadi pilar utama kepercayaan di ruang publik.

Deepfake secara brutal menghancurkan pilar ini. Ketika video seorang politisi yang membuat pernyataan kontroversial dapat dihasilkan dalam hitungan jam bahkan menit dengan akurasi tinggi, masyarakat dipaksa untuk memasuki keadaan keraguan kronis.

Kita memasuki apa yang disebut sebagai liar’s dividend: para manipulator kini dapat menyangkal semua bukti otentik dengan mengklaimnya sebagai deepfake.

Krisis kepercayaan ini menemukan manifestasi nyata, seperti pada kasus deepfake yang menimpa mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani di Indonesia.

Rekaman yang dimanipulasi tersebut, terlepas dari keasliannya yang kemudian disangkal, telah memicu reaksi publik yang kacau dan keraguan luas, menunjukkan betapa rentannya wacana nasional terhadap disrupsi teknologi.

Peristiwa ini menggarisbawahi bagaimana deepfake dapat meruntuhkan otoritas komunikasi institusional dalam hitungan jam dan mengganggu stabilitas sosial-ekonomi.

Tinjauan sistematis menunjukkan publik secara umum memahami risiko yang ditimbulkan oleh AI, termasuk potensi deepfake untuk memanipulasi opini (Hynek et al., 2025).

Dampaknya adalah erosi bertahap terhadap institusi yang bertanggung jawab atas produksi kebenaran, terutama media berita.

Penelitian memperingatkan deepfake berpotensi mengacaukan media berita dan sektor hiburan secara serius, menantang kredibilitas jurnalisme dan konsumsi informasi publik (Lundberg & Mozelius, 2024).

Jika kita tidak dapat lagi memercayai mata kita sendiri, di manakah letak otoritas pengetahuan? Ini adalah pergeseran mendasar di mana kebenaran objektif digantikan oleh kebenaran tribalis, mempercepat laju masyarakat post-truth.

Deepfake, Identitas Digital, dan Trauma Sosial

Dalam masyarakat digital, identitas—citra dan reputasi seseorang—adalah modal sosial yang tak ternilai.

Deepfake mengubah identitas digital menjadi arena pertempuran yang brutal, terutama dalam kasus penggunaan non-konsensual.

Sebuah studi menunjukkan sebagian besar konten deepfake yang tersedia secara publik adalah konten pornografi non-konsensual yang menargetkan perempuan, merenggut agensi dan otonomi tubuh mereka.

Dari sudut pandang sosiologi, hal ini merepresentasikan kekerasan struktural yang dilegitimasi oleh teknologi.

Dampak sosial dari deepfake mencakup penghinaan pribadi, kerugian finansial, dan pengucilan sosial, terutama ketika digunakan untuk penipuan atau pornografi non-konsensual (Hancock et al., 2021).

Penciptaan deepfake yang memalukan terhadap individu tidak hanya merusak reputasi mereka; ia menciptakan trauma psikologis dan isolasi yang permanen.

Para korban dipaksa untuk hidup dalam realitas di mana tubuh atau kata-kata mereka telah dicuri dan dimanipulasi untuk tujuan jahat.

Deepfake memberikan tekanan berat pada konsep identitas di era digital, di mana citra digital seseorang menjadi aset yang dapat dicuri dan dipersenjatai.

Sulit bagi hukum untuk sepenuhnya “menghapus” kerugian tersebut karena sekali citra tersebar, ia menjadi bagian dari memori kolektif yang termanipulasi, menghadirkan risiko kehancuran identitas secara total.

Manipulasi Wacana dan Polaritas Sosial

Ancaman terbesar deepfake di tingkat kolektif adalah kemampuannya untuk memperparah polarisasi sosial.

Masyarakat, terutama di era media sosial, cenderung membentuk echo chamber di mana mereka hanya mengonsumsi informasi yang memperkuat keyakinan yang sudah ada. Deepfake adalah amunisi yang sempurna untuk gelembung ini.

Analisis tentang dampak sosiologis teknologi deepfake menyoroti salah satu konsekuensi terbesarnya adalah potensi untuk manipulasi politik dan penyebaran disinformasi massal, yang secara langsung mengancam stabilitas demokrasi (Patarlapati, 2023).

Kelompok yang sudah terpolarisasi akan sangat rentan menerima deepfake yang mengonfirmasi bias mereka terhadap “pihak lain,” bahkan jika buktinya sangat lemah.

Hal ini menghancurkan ruang untuk realitas bersama (shared reality), yaitu seperangkat fakta fundamental yang disepakati oleh seluruh warga negara, yang merupakan prasyarat mutlak bagi berfungsinya demokrasi dan dialog sipil.

Ketika tidak ada lagi realitas bersama, konflik tidak lagi berbasis pada perbedaan interpretasi, melainkan pada perbedaan dasar tentang apa yang benar-benar terjadi, membuat kompromi dan kohesi sosial nyaris mustahil.

Dampaknya meluas ke ranah hiburan dan seni, di mana garis antara realitas dan fiksi menjadi kabur, berpotensi mengubah cara kita menghargai dan memahami konten (Lundberg & Mozelius, 2024).

Deepfake, Kapitalisme Pengawasan, dan Dinamika Kekuatan

Secara sosiologis, setiap teknologi adalah alat kekuasaan, dan deepfake mencapai potensi manipulatif tertingginya di bawah logika Kapitalisme Pengawasan (Surveillance Capitalism), sebuah konsep yang dikembangkan oleh Shoshana Zuboff.

Dalam sistem ini, korporasi teknologi besar (Big Tech) tidak hanya mengumpulkan data perilaku pengguna—mulai dari klik, scroll, hingga emosi yang terukur—tetapi menggunakan data tersebut untuk memprediksi perilaku masa depan.

Deepfake menjadi produk prediksi paling ekstrem dari model bisnis ini. Dengan memahami kerentanan psikologis, preferensi politik, dan pola konsumsi media dari miliaran pengguna (berkat data masif dari Kapitalisme Pengawasan), aktor kuat dapat menciptakan deepfake yang sangat ditargetkan (hyper-personalized).

Manipulasi ini bukan lagi sekadar penyiaran massal, melainkan serangan yang presisi terhadap kesepakatan sosial dan kebenaran individu.

Target deepfake akan disajikan konten yang paling mungkin memicu kemarahan, kepanikan, atau tindakan berdasarkan prediksi perilaku mereka.

Aktor kuat, baik itu Big Tech yang berupaya memaksakan agenda mereka melalui disinformasi berskala besar, maupun negara yang menggunakannya sebagai senjata geopolitik, menggunakan deepfake sebagai alat kontrol narasi.

Mereka memiliki sumber daya data dan komputasi yang tak tertandingi untuk melatih model AI terbaik.

Hal ini menegaskan meskipun alatnya “disederhanakan” bagi agensi individu, dampak dan kontrol atas realitas tetap di tangan struktur kekuasaan yang mengeksploitasi kehidupan digital kita.

Kesimpulan: Mendasar Ulang Kontrak Sosial Digital

Deepfake adalah cermin yang memantulkan kerentanan masyarakat kita terhadap manipulasi di era digital.

Tantangan sosiologis yang ditimbulkannya jauh melampaui kemampuan deteksi teknologi; ia menuntut pembaruan kontrak sosial.

Solusinya terletak pada tindakan kolektif: penguatan pendidikan literasi digital yang mengajarkan skeptisisme konstruktif dan verifikasi komunal; kebijakan yang secara tegas memberikan perlindungan identitas digital; dan, yang paling penting, dukungan terhadap institusi media dan penelitian independen yang memiliki otoritas dan integritas untuk mengklaim dan mempertahankan kebenaran.

Tinjauan sistematis menekankan pentingnya respons kebijakan yang terkoordinasi dan peningkatan kemampuan deteksi untuk mengatasi risiko deepfake (Hynek et al., 2025).

Masyarakat harus secara sadar memilih untuk kembali memprioritaskan realitas bersama. Deepfake menantang kita untuk memutuskan, di tengah lautan informasi yang terfragmentasi, apa yang masih ingin kita percaya dan yakini sebagai fondasi kebersamaan kita.

Kegagalan untuk melakukannya berarti membiarkan realitas kita yang paling mendasar dibentuk oleh algoritma, Kapitalisme Pengawasan, dan kepentingan segelintir manipulator.

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

LAINNYA
x