Oleh : Aliya Zahra
Founder Setara Perempuan
________________________
Emansipasi merujuk pada pembebasan dari perbudakan yang berkaitan dengan persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Apapun makna secara terminologi dan epistimologi muara emansipasi adalah kesetaraan hak antara laki-laki yang dilandaskan pada hak asasinya sebagai manusia.
Dewasa ini, pergerakan feminis terasa hambar bahkan dituding “terlalu banyak minta” ditengah terbukanya peluang bagi perempuan. Feminis dianggap sebagai gerakan usang yang tidak relevan dengan perkembangan zaman.
Tidak salah meski tak sepenuhnya benar. Pada gelombang ke-4 ini, fokus gerakan perempuan yang tergabung dalam feminis dinilai radikal jika dibenturkan dengan kultur adat ketimuran yang cenderung dianut oleh masyarakat Indonesia. Beberapa hal diantaranya adalah dua konsep pemikiran feminis-inklusivitas dan interseksionalitas yang kemudian secara mentah oleh ‘dicurigai’ sebagai akar normalisasi LGBTQ++ .
Emansipasi secara relatif kurang relevan dengan kondisi perempuan hari ini sebab Secara nasional, pada 2023 indeks pemberdayaan gender Indonesia mencapai rata-rata 76,90. Sedikit meningkat dari tahun 2022 yang mencapai angka 76,59 (mengacu pada data GoodStats.id) Hak akses pendidikan pun terbuka lebar tanpa ada ketimpangan gender. Lantas apa yang menjadi masalah?
Memperjuangkan kesetaraan dalam lingkungan yang aman justru mendiskreditkan esensi perempuan dengan mengeksklusifkan diri. Bahkan secara ekstrem lebih mirip egosentrisme gender karena antara laki-laki dan perempuan saling sikut untuk mendominasi. Mereka fokus pada konsep korban-pelaku dari pada progresifitas bersama. Kesetaraan yang ekstrem yang cenderung memaksa berpotensi menghilangkan esensi pembeda antara laki-laki dan perempuan yang sudah ditakdirkan berbeda sejak lahir dari anatomi tubuh, peran dan fungsi tubuh, serta ciri khas lainnya yang bersifat kodrati.
Maka dari itu konsep emansipasi rasanya kurang relevan sebab perempuan hari ini sudah diupayakan untuk diberikan haknya. Mulailah berpikir selangkah lebih jauh untuk berakselerasi dengan laki-laki melalui harmonisasi gender. Berhenti saling mendiskreditkan gender apapun sebab dalam konteks kemanusiaan seluruh manusia sama. Hanya saja dalam menakar legalitas LGBTQ+ perlu dipikirkan ulang apalagi jika dikorelasikan dengan kultur Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Sepakat pada harmonisasi bukan berarti tidak membutuhkan emansipasi, justru karena kita -para perempuan telah melewati masa itu maka perlu upgrade pada pemikiran yang lebih progres. Sudah saatnya perempuan menempati sendi-sendi kehidupan.
Harmonisasi adalah kesalingan, saling membantu, saling mengisi peluang. Sangat usang rasanya jika permasalahan gender selalu dijadikan topik hangat seolah-olah perempuan adalah makhluk yang sakit.
Selamat berjuang perempuan yang berpikir!
No Comments