x

Wamen Rangkap Jabatan, Sebuah Tragedi di Tengah Eskalasi Pengangguran

4 minutes reading
Friday, 18 Jul 2025 05:06 608 detektif_jatim

Oleh: Mauzun Visioner (Kabid Pendidikan dan Pengembangan SDM Komunitas Jembhar Sataretanan)

_______________________

Fenomena wakil menteri (wamen) rangkap jabatan menjadi sketsa pesta birokrasi. Skema para elit dalam mempergemuk kekuasaan di lembaga pemerintahan menjadi dinamika kompleks yang tidak berimbang. Validitasnya kebijakan rangkap jabatan menggambarkan euforia sepihak yang berpotensi memperbesar ketimpangan ekonomi. Sebagaimana sebuah ungkapan “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”.

Itu merupakan statement nyata atas fenomena kesenjangan antara pemerintah dan rakyat. Para elit dengan statusnya sebagai abdi negara masih mendapat privilege lebih untuk rangkap jabatan. Fenomena wakil menteri merangkap sebagai komisaris BUMN adalah kebijakan egosentris. Hal itu merupakan fenomena kepentingan yang melanggar nilai keadilan. secara regulatif, lahirnya UU BUMN yang memperbolehkan wakil menteri rangkap jabatan, tentu menjadi problematika yang  perlu dikaji ulang. Ini bukan perkara sengketa kekuasaan, tapi menyangkut nilai keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, dan kesejahteraan.

Di tengah minimnya lapangan pekerjaan tidak patut para elit diberikan privilege untuk rangkap jabatan. Selain menciderai undang-undang lain, hal ini juga menjadi tragedi di tengah eskalasi pengangguran. Secara sistematika, ini menjadi frekuensi simbiosis parasitisme, karena rakyat dicekik tanpa mendapatkan kesejahteraan dan kesempatan, sedangkan pemangku kebijakan berpestar ria dengan bagi-bagi jabatan.

Analisis Angka Pengangguran

Fenomena pengangguran merupakan problematika yang memperlamban tercapainya kesejahteraan. Tak pelak, semakin tinggi angka pengangguran maka semakin terpuruk rakyat dalam kemiskinan. Hal ini masih menjadi problematika serius, khususnya di Indonesia. Maraknya pengangguran, belum mampu ditangani dengan efektif. Bahkan sampai hari ini pengangguran di Indonesia justru terus mengalami eskalasi yang cukup dominan.

Lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi tingkat pengangguran Indonesia pada 2025 mencapai 5 persen. Angka ini menjadi yang tertinggi kedua di Asia setelah Cina yang diproyeksi sebesar 5,1 persen tahun ini. Berdasarkan laporan World Economic Outlook edisi April 2025, IMF mencatat tren pengangguran atau unemployment rate di Tanah Air terus naik. Pada 2024 sebesar 4,9 persen dan tahun ini menjadi 5,0 persen dan 2026 diprediksi bakal mencapai 5,1 persen. Sedangkan pengangguran Cina sejak 2024 hingga 2026 stagnan di level 5,1 persen (tempo.com)

Hal ini tentunya disebabkan oleh banyak faktor. Selain kurangnya keterampilan, yang paling dominan adalah minimnya lapangan pekerjaan dan angka PHK yang semakin tinggi. Dilansir dari tempo.com Kementerian Ketenagakerjaan mengungkap jumlah PHK per Selasa, 20 Mei 2025 mencapai 26.455 kasus. Provinsi yang menyumbang kasus PHK paling tinggi adalah Jawa Tengah. Apalagi hari ini ditambah dengan kebijakan UU BUMN yang mengizinkan wakil menteri (wamen) rangkap jabatan, tentu ini dapat menambah tingkat pengangguran.  Fenomena ini tentunya perlu ditanggulangi secara komprehensif agar krisis pengangguran tidak terus menanjak dominan.

Revisi UU BUMN

UU BUMN melahirkan dwifungsi  yang dapat memperkecil peluang kerja bagi rakyat. Hal itu akibat diizinkannya wakil menteri merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN. Secara normatif, kebijakan tersebut menciderai cita-cita demokrasi yang berbunyi dari rakyat untuk rakyat kembali kepada rakyat. Prinsip mulia tersebut tentunya hanya akan menjadi slogan semata tanpa ada implikasi nyata. Itu kompleksitas dampak UU BUMN dalam skala kecil. Apabila tidak ditindak lanjuti oleh pemerintah maka akan lahir dampak serius yang dapat merongrong keadilan, hak dan kesetaraan rakyat secara lebih frontal.

Buktinya, tak berselang lama dari penetapan UU BUMN sudah banyak wakil menteri yang menjabat sebagai komisaris. Dilansir melalui laman tempo.com Sebanyak 30 wakil menteri (wamen) aktif tercatat memegang jabatan sebagai komisaris atau komisaris utama di sejumlah perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan demikian nasib rakyat semakin tak menentu, karena para elit begitu ugal-ugalan rangkap jabatan sekaligus rangkap pendapatan. Apakah ini efektif untuk mengurangi angka pengangguran? tentu jawabannya tidak, justru dengan kebijakan demikian angka pengangguran secara drastis akan terus naik. Hal ini disebabkan lapangan pekerjaan dimonopoli kepentingan politik praktis.

Untuk itu, penolakan terhadap UU BUMN adalah bentuk sikap tegas untuk menegakkan hak dan keadilan. Semua elemen baik rakyat DPR, atau pihak terkait lainnya harus bersatu untuk mengentaskan sistem ketidakadilan. Esensialnya undang-undang yang mengandung dwifungsi tidak layak untuk dipatuhi sebagai kebijakan. Kritis-analitisnya sebab hal demikian hanya akan menimbulkan berbagai kompleksitas tendensi dan kesenjangan, apalagi untuk Indonesia yang menganut sistem demokrasi.

Oleh sebab itu, UU BUMN perlu dievaluasi dan direvisi secara lebih inklusif. Tidak patut otoritas kepentingan dijadikan
landasan untuk menggagas undang-undang. Melalui ekslusifitas putusan atas UU BUMN yang digelar hanya sepekan itu sudah cukup mengindikasikan kepentingan terselubung. Maka dari itu, pemangku kebijakan harus hadir dan membuka ruang seluas-luasnya untuk mendengar aspirasi rakyat, atau pihak yang mewakili suara rakyat atas putusan UU BUMN yang cukup tendensial dan egosentris.

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

LAINNYA
x