x

Bea Cukai Madura Ibarat Can-macanan Katthu’

4 minutes reading
Tuesday, 24 Jun 2025 08:41 4 detektif_jatim

Oleh : Udiens Nyalonong*

Di tengah polemik maraknya peredaran rokok ilegal dan Jual Beli pita cukai di Madura, muncul istilah lokal yang sarat sindiran: canmacanan katthu’. Dalam bahasa Madura, itu berarti macan buatan dari kayu. Ia terlihat buas, namun sejatinya tidak pernah menggigit siapa pun. Itulah metafora yang kini disematkan pada Bea Cukai Madura.

Istilah ini tak akan muncul tanpa sebab. Warga, khususnya di Madura Timur, mulai mempertanyakan ketegasan aparat Bea Cukai. Mereka menilai institusi ini seperti hanya menjalankan formalitas: menyita, konferensi pers, lalu senyap kembali. Tidak ada efek jera. Tidak ada taring yang menancap.

Seorang warga di Sumenep bahkan berujar, “Bea Cukai ini kalau dikasih makan, menelan. Tapi tidak pernah menggigit.” Ucapannya menyiratkan bahwa lembaga tersebut mungkin hanya ‘aktif’ jika mendapat ‘asupan’, bukan karena menjalankan fungsinya secara mandiri.

Sebuah tuduhan yang menyakitkan, namun menjadi refleksi publik saat kepercayaan kian menipis.

Fenomena rokok ilegal dan jual beli pita cukai sudah bukan lagi menjadi rahasia umum. Dari ujung barat Bangkalan sampai timur Sumenep, merek-merek tanpa pita cukai beredar bebas. Bahkan, banyak warung dan toko tak sungkan memajangnya. Ironisnya, keberanian pelaku seakan mencerminkan ketidakhadiran pengawasan nyata dari Bea Cukai.

Padahal, dalam teori penegakan hukum, kehadiran otoritas mesti berbanding lurus dengan pengaruh psikologis. Ketika lembaga seperti Bea Cukai tidak lagi menakutkan bagi pelaku pelanggaran, maka kredibilitasnya mulai runtuh. Keberadaan mereka hanya sebatas simbol, tanpa fungsi preventif dan represif yang nyata.

Yang lebih memprihatinkan, kinerja Bea Cukai sering kali justru menyasar pedagang kecil. Di media sosial, beredar video penindakan terhadap penjual yang menyimpan beberapa bungkus rokok ilegal. Namun, di sisi lain, produsen rokok tanpa cukai yang bisa berproduksi hingga ribuan batang per-hari tetap beroperasi bahkan jual beli pita cukai juga marak hingga dihalaman rumahnya berjejeran mobil mewah.

Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah Bea Cukai hanya berani menggigit rakyat kecil? Jika benar demikian, maka satir canmacanan katthu’ sungguh sangat tepat. Lembaga ini nampak besar, penuh simbol otoritas, tapi keberaniannya hanya pada sasaran yang lemah.

Apalagi, banyak kalangan menduga praktik rokok ilegal di Madura tak lepas dari jejaring kekuasaan dan ekonomi. Beberapa oknum pengusaha diketahui memiliki relasi dengan aparat atau pejabat setempat. Jika benar, maka jangan harap Bea Cukai bisa benar-benar independen dan menindak tegas.

Sebagai institusi negara, Bea Cukai seharusnya berdiri di atas semua kepentingan. Mereka bertugas melindungi negara dari kebocoran penerimaan, serta menjaga iklim industri yang sehat dan adil. Ketika mereka abai, maka negara ikut dirugikan. Bukan hanya secara fiskal, tapi juga secara moral.

Kritik terhadap Bea Cukai Madura ini bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk membangkitkan. Agar institusi ini tidak menjadi seperti canmacanan katthu’—yang hanya menelan, tapi tidak pernah menggigit. Yang menakutkan dalam gambar, tapi memalukan dalam kenyataan.

Harus ada audit menyeluruh terhadap kinerja penindakan ke 106 PR yang mayoritas berasal dari kecamatan Ganding, Lenteng dan Guluk-guluk serta Pasongsongan. Harus ada keberanian untuk menyasar aktor besar, bukan hanya pelaku kecil. Dan harus ada transparansi kepada publik, bahwa semua proses penindakan benar-benar bebas dari intervensi dan transaksi bawah meja.

Dalam konteks lokal, peran tokoh masyarakat juga penting. Mereka bisa menjadi penghubung antara pemerintah dan warga. Ketika masyarakat sudah apatis karena merasa penegakan hukum tidak adil, maka perlawanan tak lagi bersuara—melainkan dengan sikap membiarkan.

Ironisnya, banyak warga yang justru memberi pembenaran terhadap peredaran rokok ilegal. Mereka berdalih, inilah sumber ekonomi lokal. Ketika negara tak hadir secara adil, maka pelanggaran menjadi jalan keluar. Sebuah pembenaran yang berbahaya, namun tumbuh dari rasa frustrasi.

Untuk itu, Bea Cukai Madura harus melakukan refleksi. Apakah mereka masih menjalankan tugas dengan integritas? Apakah mereka benar-benar menjadi pelindung penerimaan negara dan penjaga keadilan ekonomi? Atau, mereka sudah berubah menjadi lembaga simbolis semata?

Dalam jangka pendek, penting dilakukan dialog terbuka antara Bea Cukai, tokoh masyarakat, dan pelaku usaha legal. Dialog ini bukan untuk saling menyalahkan, tapi merumuskan solusi konkret agar rokok ilegal bisa ditekan tanpa mematikan ekonomi warga kecil.

Jangan sampai lembaga ini terus menerus dikaitkan dengan satir canmacanan katthu’. Karena jika citra itu terus menempel, maka Bea Cukai tak hanya kehilangan kepercayaan, tapi juga kehilangan fungsi. Dan ketika institusi negara kehilangan fungsi, maka negara kehilangan wajahnya.

Madura bukan wilayah abu-abu. Ini tanah yang jelas batas hukumnya. Jika Bea Cukai tak mampu bertindak tegas, maka publik akan terus menuduh mereka sebagai “macan kayu”. Mengancam dalam rupa, tapi tak menyentuh dalam aksi.

Maka kini saatnya Bea Cukai Madura membuktikan bahwa mereka bukan katthu’. Mereka harus menunjukkan taringnya secara adil, transparan, dan profesional. Jika tidak, maka sejarah akan mencatat mereka sebagai simbol kebisingan tanpa hasil—macan yang hanya menelan, tapi tak pernah menggigit.

Penulis : Samaudin sapaan akrab Udiens Nyalonong,  Manager Memoonline.co.id sekaligus Wartawan Senior di kota Keris, Sumenep Madura Jawa Timur.

* Wartawan MEMOonline.co.id

No Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

LAINNYA
x