Berbicara guru honorer bukan suatu hal asing bagi kita. Karena keberadaannya cukup mendominasi di sekolah swasta maupun negeri. Bahkan, perannya pun cukup fundamental sebagai tenaga pendidik. Dengan adanya guru honorer sangat membantu terhadap proses belajar mengajar di sekolah. Sehingga pembelajaran di suatu instansi dapat berjalan efektif sesuai dengan sistem yang telah ditetapkan stake holder.
Namun dibalik itu semua posisi guru honorer tidak seberuntung dampaknya. Ada banyak tantangan yang harus dihadapi di sepanjang perjalanannya. Mereka harus menghadapi berbagai persoalan yang tak patut untuk dinormalisasi. Banyak oknum memperlakukan mereka dengan cara sewenang-wenang. Mulai dari upah yang terbilang kecil sampai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan hukum.
Dilansir dari detik.com guru honorer gajinya antara Rp 1,5 juta sampai Rp 2 juta di wilayah kota besar, sedangkan di daerah sekitar Rp 300 ribu sampai Rp 1 juta dengan jangka waktu yang tidak menentu.
Era semakin maju namun kesejahteraan guru honorer semakin tabu. Selain persoalan gaji, Mereka juga sering kali mengalami paradoks peran. Statusnya sebagai “Guru” seolah melegitimasi peluang damai dan kesejahteraan, namun realitasnya tidak lebih dari tantangan yang berkedok kehormatan. Mereka sering kali dikecam sebagai kriminal. Didikannya dianggap sebagai tindakan tidak wajar yang tak patut dinormalisasi. Padahal jika ditelaah tindakan guru honorer yang dikecam sebagai kriminalitas senyatanya dalam batas wajar. Bahkan, masih dalam kategori edukasi yang mengandung nilai-nilai moral.
Deskripsi paling kentara hari ini adalah kasus guru honorer supriyani. Guru honorer asal Konawe Selatan, Sulawesi tenggara tersebut, diduga telah melakukan penganiayaan terhadap muridnya. Sebagai informasi, kasus ini bermula ketika seorang siswa SD Negeri 4 Baito mengaku dipukul Supriyani hingga terluka. Ayah korban yang merupakan seorang anggota polisi pun melaporkan kasus penganiyaan tersebut ke Polsek Baito (Kompas.com)
Dikutip dari detiknews.com Jaksa Penuntut Umum (JPU) memaparkan pertimbangannya sehingga menuntut bebas guru honorer Supriyani dalam kasus tuduhan menganiaya siswa di SD Negeri 4 Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. JPU menilai Supriyani tak memiliki niat jahat.
Dapat disimpulkan bahwa di Indonesia Apresiasi terhadap guru honorer terbilang sangat rendah. Banyak sekali oknum yang merasa memiliki kuasa untuk menghakimi seorang guru tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu. Sehingga terjadi problematika kompleks yang mendeskriminasi seorang guru. secara garis besar ini menjadi semacam tragedi peradaban. Karena, peranan guru sering didiskreditkan pada hal yang mengandung ironi, dituduh kriminalisasi padahal sifatnya mengedukasi.
Berbeda dengan Dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan seorang guru terhadap muridnya di sekolah menengah agama di Gorontalo. Karena secara mutlak tindakan tersebut merupakan kesalahan yang tak dapat ditolerir. “Ini sudah darurat. Antisipasi pencegahan dan penanganannya harus secara luar biasa karena ini sudah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) bagi kami,” kata Satriwan saat dihubungi BBC News Indonesia, Kamis (26/09).
Sedang kasus supriyani dan kasus guru honorer yang tak jauh berbeda, tak dapat langsung disanksikan sebagai tindak kriminal. Bila hanya sekadar menjewer, dan menegur dengan suara yang agak lantang, itu masih dalam batas wajar. Meskipun terkesan keras namun tindakan tersebut masih menjadi bagian dari wujud pendidikan. Karena, setiap guru memiliki alternatif tersendiri untuk meningkatkan efek jera pada siswa. Apalagi jika mengaca pada kasus supriyani itu tidak terdapat unsur kesengajaan untuk menyakiti siswanya.
Dewasa ini, melihat fenomena guru honorer yang semakin termarjinalisasi perlu perhatian lebih dari pemerintah dan masyarakat secara umum. Penting bagi kita menaruh apresiasi setinggi-tingginya untuk para guru honorer yang telah mendedikasikan hidupnya untuk mencerdaskan generasi bangsa. Supaya posisi Guru honorer bukan hanya citranya yang terlihat terhormat namun secara realitas mereka benar-benar dihargai dengan apreasiasi totalitas. Sehingga posisi guru honorer tidak selalu menjadi tragedi mengerikan, melainkan menjadi posisi yang dimanusiakan.
Sebagai bangsa yang terkenal beradab, kita semua perlu belajar dari bangsa jepang dalam menghargai guru. Pada tahun 1945, tepatnya pada saat perang dunia ke 2, bom atom dijatuhkan di Nagasaki dan Hiroshima yang menjadi klimaks serangan udara AS. Kondisi Jepang kala itu sangat memprihatinkan. Di saat keadaan negara sudah sedemikian hancurnya, bukannya bertanya tentang berapa tantara yang tersisa, kaisar Hirohito justru menanyakan berapa jumlah guru yang tersisa saat pertama kali mendengar negaranya telah luluh lantak oleh bom nuklir yang dijatuhkan tantara Amerika Serikat itu.
Hal ini menunjukkan betapa bernilainya seorang guru di mata Kaisar. Momen ini pulalah yang menjadi tonggak kebangkitan Jepang sehingga menjadi salah satu negara maju hanya dalam kurun waktu 20 tahunan. Padahal dengan kondisinya yang hancur lebur saat itu, dunia memprediksi paling tidak Jepang membutuhkan waktu kurang lebih 50 tahun untuk dapat bangkit kembali (akupintar.id)
Sejarah tersebut dapat menjadi refleksi untuk bangsa Indonesia dalam menghargai guru, khususnya para guru honorer. Agar tidak terjadi ironi yang berkepanjangan. Sehingga dapat meminimalisir terjadinya kesenjangan antara instansi, guru, dan murid. Dengan begitu kemajuan pendidikan dapat tercipta melalui equality yang suportif. Sehingga Indonesia pun akan tumbuh menjadi negara berkemajuan dan berperadaban.
Oleh; Mauzun Visioner (Pegiat Literasi & Anggota Forum Ketiga Network)
No Comments